Selasa, 31 Juli 2012

Ketika Jantung Berhenti Berdetak

Beberapa hari yang lalu, saya menyaksikan seseorang yang terkena serangan jantung. Meskipun cukup sering mendengar cerita-cerita tentang bagaimana menegangkannya saat-saat terjadi serangan itu, namun baru sekali itu saya menyaksikannya secara langsung. Pada saat yang paling kritis, saya mendengar suara seperti ‘mengorok’ di kerongkongan. Suara aneh itu membuat saya kalang kabut karena tidak tahu apa yang harus dilakukan. Di rumah sakit dokter mengajak saya untuk masuk ke sebuah ruangan yang didalamnya terdapat beberapa monitor komputer. Melalui perangkat komputer yang dihubungkan dengan selang kepada jantung itu dokter meminta saya untuk melihat secara langsung, apa yang terjadi didalam jantung. Sungguh, seluruh bulu kuduk saya serasa merinding.
 
Jantung adalah organ pertama yang terbentuk ketika jabang bayi memulai proses penciptaan atas seizin Tuhan. Dan jantung jugalah yang menandai akhir hidup seseorang. Hari itu, saya benar-benar mendapatkan kehormatan untuk memperoleh sebuah proses penyadaran diri tentang betapa berharganya hidup ini. Bagi Anda yang tertarik untuk menemani saya belajar memaknai hidup, saya ajak untuk memulainya dengan menerapkan 5 kemampuan Natural Intelligence berikut ini:  
 
1.      Menyadari betapa rentannya tubuh kita. Tubuh saya ini kurus, kecil; jauh dari bentuk ideal seorang pria jantan idaman para pemburu ketampanan. Bagaimana dengan Anda, apakah berperawakan sama seperti saya yang kerempeng? Ataukah Anda dianugerahi otot-otot yang kekar membentuk 6 gumpalan membanggakan ditengah-tengah perut seperti yang biasa dimiliki oleh para lelaki atletis?  Betapapun indahnya bentuk luar tubuh kita, boleh jadi isi didalamnya sama saja. Jantung yang saya lihat didalam tayangan langsung di ruang operasi itu menunjukkan bahwa tidak peduli sebesar dan sekekar apapun tubuh kita; kita ini sesungguhnya adalah mahluk yang rentan. Ketika Tuhan menyuruh jantung itu berhenti berdegup, maka tumbanglah tubuh setiap insan.
 
2.      Menyadari bahwa kita tidak tahu kapan hidup akan berakhir. Dua kakek saya meninggal dalam usia senja. Namun, salah satu anak saya meninggal hanya dalam hitungan minggu sejak dokter kandungan memberitahu kabar baik tentang detak jantungnya yang mulai terdeteksi oleh alat USG. Betapa penuh misterinya hidup yang kita miliki. Hingga tak seorangpun tahu kapan hidupnya akan berakhir. Setiap kali mengingat hal itu, saya selalu terdorong untuk bersegera menunaikan sembahyang yang sejak tadi masih tertunda-tunda. Setiap kali mengingatnya, kita termotivasi untuk mengurangi berbuat dosa. Dan setiap kali menyadarinya, kita kehilangan selera untuk berbuat curang atau nista. Semoga Tuhan berkenan membantu kita untuk selalu sadar bahwa kita tidak tahu kapan hidup ini akan berakhir.
 
3.      Menyadari bahwa kita akan dimintai pertanggungjawaban atas hidup. Ketika nafsu dan keserakahan memenuhi pikiran dan hati kita, biasanya kita tidak segan untuk melakukan apapun. Termasuk didalamnya perbuatan-perbuatan yang melanggar norma, atau mengambil sesuatu yang bukan hak kita. Sesungguhnya kita tahu jika perbuatan itu salah, namun dorongan hawa nafsu jauh lebih besar daripada pengetahuan tentang kebenaran. Ya sudah lakukan saja, mumpung tidak ada yang memergoki atau berani menghalangi. Mungkin kita perlu ingat kembali bahwa setiap perbuatan itu harus dipertanggungjawabkan. Dengan begitu, mungkin kita masih sempat berpikir ulang, setiap kali hendak berbuat curang. Atau melakukan tindakan-tindakan yang tidak disukai oleh Tuhan.
 
4.      Menyadari bahwa kita tidak bisa membayangkan kerasnya sisksaan Tuhan. Jika Anda pernah memegang palu, mungkin tangan Anda pernah secara tidak sengaja terpukul palu saat hendak memaku. Rasa sakitnya tentu bukanlah tandingan bagi pukulan palu malaikat yang marah karena kenistaan yang pernah kita lakukan semasa hidup. Jika Anda pernah memasak, mungkin tangan Anda pernah melepuh terkena kompor yang tengah menyala. Rasa panasnya bukanlah tandingan kobaran api didalam neraka yang menyala-nyala. Perlu berlatih dipukul martil sekeras apa supaya bisa tahan dari pukulan palu godam Tuhan? Harus latihan dibakar dengan api sebesar apa supaya bisa mengatasi panasnya api kemarahan Tuhan? Menyadari bahwa kita tidak bisa membayangkan kerasnya siksaan Tuhan, mungkin bisa lebih memotivasi kita untuk mengisi hidup dengan tindakan-tindakan yang bernilai.   
 
5.      Menyadari bahwa kita tidak berhak untuk menyulitkan orang lain. Kita sering mengira bahwa wacana tentang sorga dan neraka itu hanya cocok untuk dijadikan dongeng pengantar tidur saja. Hanya anak-anak yang layak mempercayainya. Orang dewasa seperti kita, tidak pantas lagi terbuai oleh cerita-cerita yang tidak ada bukti empiris tentang kebenarannya. Memang, hidup ini adalah pilihan. Kita boleh memilih untuk percaya, atau ingkar saja. Maka berbuat sesuka hati adalah hak kita. Namun, ada bagusnya jika kita sadar kita ini sama sekali tidak berhak untuk menyulitkan orang lain. Meski boleh berbuat nista, kita harus memastikan bahwa kenistaan yang kita buat itu tidak menjadikan orang lain menderita. Meski boleh mengambil yang bukan hak kita, namun kita tidak patut menyebabkan orang lain kehilangan kepemilikannya. Meski boleh mengambil sesuka hati kita, tapi kita tidak berhak menjadikan perusahaan mengalami kerugian. Menyadari bahwa kita tidak berhak untuk menyulitkan orang lain, mungkin membantu kita untuk menyadari bahwa tidak ada tindakan dan perilaku kita yang tidak terhubung dengan orang lain. Maka perilaku positif, hanya itulah pilihan yang kita miliki.
 
Menepuk dada adalah pertanda bahwa kita percaya diri dan yakin akan semua kemampuan yang kita miliki. Namun, kita sering tidak sadar bahwa didalam dada yang kita tepuk-tepuk itu ada sebuah organ penting yang menentukan hidup dan mati kita. Organ itu bernama jantung. Maka setiap kali kita menepuk dada, alangkah baiknya sambil mengatakan;”Tuhan, terimakasih telah Engkau izinkan aku memiliki jantung ini.” Dengan begitu, mungkin kita bisa semakin termotivasi untuk mengisi hidup yang singkat ini dengan segala hal yang Dia sukai. 

Catatan Kaki:
Tubuh kekar atau langsing. Wajah tampan atau cantik. Dompet tebal atau tipis. Semuanya tidak memiliki arti yang lebih besar daripada makna yang dikandung dalam sebuah organ bernama jantung.
 

Pendek dan Kecil Versus Panjang dan Besar

Daya imajinasi memungkinkan kita untuk mereka-reka rupa seseorang yang belum pernah kita temui secara fisik. Makanya Anda punya gambaran sosok sahabat pena yang Anda kenal didunia maya. Saya sering mengalami hal itu. Orang yang pertama kali bertemu dengan saya mengatakan;”Oh, ini toh Kang Dadang itu?”. Kejadian itu terulang lagi pada pertemuan dengan pengurus baru Alumni ITB Angkatan ‘89 hari sabtu lalu. Meski satu angkatan, semasa kuliah saya jarang sekali bertemu dengan mereka. Meski sama-sama aktivis berat, tetapi saya lebih banyak beraktivitas di luar kampus. “Kirain Dadang itu badannya tinggi dan besar, gitu.” Demikian kata teman saya begitu melihat bahwa sebenarnya saya ini pendek dan kecil. Tinggi 165 cm, berat 55 kg. Saya tidak keberatan menyebut diri sebagai orang yang ‘pendek dan kecil’. Karena kedua kosa kata itu bukanlah kebalikan dari ‘panjang dan besar’. Jadi, ya santai saja…
 
Meski demikian, kita tidak bisa benar-benar lepas dari dikotomi panjang dan pendek. Besar dan kecil. Dalam konteks umur, misalnya; kita selalu mendoakan agar orang yang sedang berulang tahun itu dianugerahi umur panjang. Kita juga selalu ingin menjadi orang besar, dan tidak ingin menjadi orang kecil.  Jadi, mau tidak mau memang harus diakui jika kita ini lebih menyukai yang panjang dan besar, daripada yang pendek dan kecil. Bagi Anda yang tertarik untuk menemani saya belajar cara mendapatkan yang panjang dan besar, saya ajak untuk memulainya dengan menerapkan 5 kemampuan Natural Intelligence berikut ini:  
 
1.      Menerima kenyataan bahwa segalanya sudah dijatah. Hidup dan mati kita. Jodoh dan rezeki kita. Nasib kita. Semuanya sudah tertulis dalam buku besar diharibaan Tuhan. Hal itu sama sekali tidak berarti Tuhan pilih kasih dan otoriter dalam menentukan semuanya, melainkan semakin menegaskan bahwa Tuhan sudah mengetahui apa yang akan terjadi dalam hidup kita sebelum kita sendiri mengalaminya. Tuhan sudah tahu kapan dan bagaimana cara kita akan mati, sehingga Dia sudah mencatatkan dalam buku itu. Jadi, sudahlah tidak perlu terlalu pusing apakah umur kita akan panjang atau pendek karena dalam konteks umur, size doesn’t matter. Yang menjadikannya ‘matter’ adalah apa yang kita lakukan dalam mengisi jatah umur yang kita miliki itu. Mau diisi dengan tindakan yang baik dan produktif atau dengan keburukan dan kesia-siaan belaka.
 
2.      Panjangkanlah ‘umur manfaat’ Anda, bukan ‘umur fisik’. Bukan hanya di dalam novel-novel fiksi kita bisa melihat betapa manusia mabuk dengan umur panjang. Dalam dunia nyata pun demikian. Padahal, kita melihat fakta bahwa diantara manusia yang umurnya panjang itu banyak yang secara mental kembali lagi kepada keadaan semasa mereka masih kecil. Sebaliknya, banyak orang yang sudah meninggal namun hasil karyanya masih digunakan oleh banyak orang. Temuan-temuannya masih terus digunakan. Ajaran-ajarannya masih tetap ditaati. Kalimat-kalimat penuh hikmahnya masih tetap diingat. Bukankah mereka inilah yang secara hakekat memiliki umur yang panjang? Bahkan Anda sendiri sering menyebut nama seseorang yang sudah meninggal sejak berabad-abad lamanya, bukan? Mungkinkan nama kita masih disebut oleh orang-orang yang hidup 500 tahun dari sekarang?
 
3.      Besarkanlah nilai manfaat diri Anda bukan ukuran tubuh Anda. Anda memiliki sebuah amplop berisi ratusan juta rupiah. Itu adalah uang berlebih Anda setelah dikurangi alokasi untuk kebutuhan hidup layak dan keperluan lainnya. Anda punya dua pilihan untuk menggunakan uang itu. Pertama, pergi ke dokter bedah platik, maka Anda akan awet muda. Uang itu cukup untuk melakukan perawatan seumur hidup. Kedua, pergi ke panti asuhan lalu Anda meletakkan amplop itu didepan pintu dengan pesan “Untuk Merenovasi Atap Panti Yang Bocor”. Jika Anda mengambil pilihan kedua, maka saya menjamin bahwa Anda akan berhasil membuat nilai hidup Anda jauh lebih besar tanpa harus membeli BH baru dengan nomor yang lebih besar.
 
4.      Berusaha untuk mendapatkan yang besar dan panjang. Kata orang, hanya ada dua kemungkinan mengapa seseorang sangat setia pada pameo ‘size doesn’t matter’, yaitu; size miliknya minimalis atau sedang berpura-pura puas dengan yang minimalis itu. Saya tidak tahu benar apa tidaknya. Tapi jika dipikir-pikir; kalau kita bisa mendapatkan yang panjang dan besar, mengapa harus terus mendekap yang pendek dan kecil? Bayangkan jika Anda bisa memiliki umur panjang hingga 110 tahun. Jika Anda mencapai akil baligh pada usia 10 tahun maka itu artinya Anda bisa memupuk amal dan kebajikan selama 100 tahun. Bukankah umur panjang dan besarnya nilai pahala yang Anda kumpulkan itu bisa menjadi bekal yang sangat banyak untuk mendapatkan karunia Tuhan? Masalahnya, kita tidak tahu sampai umur berapa kita beroleh hidup? Makanya hanya satu hal saja yang bisa kita lakukan, yaitu; memperbanyak amal baik. Jika bisa dengan uang, maka lakukan dengan uang. Jika hanya bisa dengan kata-kata bijak, maka lakukan dengan saling menasihati dalam kebaikan. Jika hanya bisa dengan perilaku baik, maka berperilaku baik yang tidak merugikan orang lainpun sudah menjadi amal saleh. Dengan begitu kita beroleh pahala besar.
 
5.      Mengoptimalkan yang pendek dan kecil. Semuanya ada ukurannya. Termasuk diri kita sendiri. Kalau memang DNA atau gennya pendek dan kecil mau diubah menjadi sepanjang dan sebesar apa lagi? Sudahlah terima saja. Anak ke-4 saya umurnya sangat pendek. Dia sudah meninggal saat berada dalam kandungan ibundanya pada usia kehamilan 12 minggu saja. Kami sedih. Tapi lebih banyak bahagianya. Kami yakin bahwa sang jabang bayi telah kembali keharibaan ilahi dalam keadaan suci. Kita yang terlanjur akil baligh ini tidak bisa kembali dalam keadaan suci seperti bayi. Tetapi, kita patut mensyukuri anugerah umur ini meskipun seandainya umur kita pendek. Kita ikuti saja meskipun takdir kita kecil, yang berarti kita memang hanya cocok untuk yang kecil-kecil. Sungguh tidak pas jika kita yang memiliki gen kecil ini melakukan dosa-dosa besar. Tahu dirilah sedikit jika mau melakukan dosa besar. Orang-orang yang punya ukuran pendek dan kecil mah cocoknya mengisi umur yang pendek itu dengan amal-amal yang banyak, meskipun hanya bisa melakukan hal-hal yang kecil.   
 
Size doesn’t matter. Bisa iya, bisa juga tidak. Selama kita bersedia untuk menerima diri sendiri dengan ikhlas, maka panjang atau pendeknya umur kita tidak akan menjadi kekhawatiran. Semoga saja dalam panjang atau pendeknya umur itu, Tuhan memperkenankan kita untuk mengumpulkan bekal hidup dan pahala dalam jumlah besar dan menjauhi dosa-dosa hingga sekecil-kecilnya. 

Catatan Kaki:
Orang besar itu beruntung, karena dengan kebesarannya dia bisa berkontribusi kepada orang-orang kecil. Orang kecil itu beruntung, karena dengan kekecilannya itu dia memberi tempat kepada orang-orang besar untuk menyalurkan jalan amalnya.
 

Employee Engagement Itu Siapa Yang Butuh Sih?

Dalam artikel sebelumnya kita telah membahas tentang tindakan-tindakan yang dapat dilakukan oleh seorang atasan untuk meningkatkan employee engagement para karyawan di unit kerjanya masing-masing. Boleh jadi, sekarang para atasan sedang mencoba mempraktekannya di kantor kita. Sekalipun demikian, upaya itu tidak akan pernah berhasil jika sebagai bawahan kita tidak mengambil porsi tanggungjawab untuk turut mewujudkannya juga. Lho, bukankah meningkatkan employee engagement itu tanggungjawab perusahaan dan atasan kita? Benar. Tetapi jika kita sendiri tidak peduli, maka semua upaya itu akan sia-sia saja. Terus, mengapa kita harus peduli sih? Memangnya siapa yang butuh employee engagement? Namanya juga employee engagement, ya management dong yang lebih berkepentingan? Argumen-argumen itu benar. Sekaligus keliru.
 
Benar karena employee engagement mempengaruhi suasana dan kinerja perusahaan. Keliru karena perusahaan bisa mengganti kita dengan karyawan yang lebih baik, sedangkan kita tidak bisa semudah itu mengganti perusahaan. Lebih keliru lagi karena rendahnya tingkat engagement kita ternyata sangat berpengaruh buruk kepada kesehatan fisik maupun mental kita sendiri. Oleh sebab itu, kita mesti mulai iklhas menerima dan menjalani profesi yang kita pilih. Jika tidak, maka kita akan terkena pengaruh buruknya, baik secara fisik maupun mental. Bagi Anda yang tertarik untuk menemani saya belajar memahami dampak negatif rendahnya employee engagement (EE) kepada pekerjaan, saya ajak untuk memulainya dengan memahami 5 sudut pandang Natural Intelligence berikut ini:  
 
1.      Rendahnya EE merusak suasana hati sendiri. Rendahnya EE ditandai dengan ketidakikhlasan Anda terhadap pekerjaan atau penugasan yang Anda terima. Jika Anda tidak ikhlas dengan pekerjaan Anda, apakah saat bangun pagi Anda akan merasa senang? Tidak. Anda justru akan menyesali mengapa setiap hari tanggalnya tidak merah semua. Sejak hari Senin hingga Jumat suasana hati Anda terus buruk. Ketika Sabtu tiba, kekesalan Anda masih tersisa. Sedangkan di hari minggu, Anda sudah memikirkan kembali bahwa besok, adalah hari Senin. Banyak orang yang tidak menyadari jika suasana hatinya telah dirusak oleh rendahnya engagement mereka terhadap pekerjaan. Karena itu, mereka mengira perasaan tidak enak saat pergi kerja adalah hal biasa. Padahal, itu harus segera dibenahi.
 
2.      Rendahnya EE menyiksa diri sendiri. Banyak orang yang tahu jika bersikap negatif kepada pekerjaan adalah salah satu cara efektif untuk menunjukkan rendahnya EE. Dan banyak orang yang mengira bahwa bersikap negatif kepada pekerjaan juga sangat efektif untuk ‘memberi pelajaran’ kepada atasan-atasan mereka. Kenyataannya, para atasan yang cerdas tidak terlalu ambil pusing dengan sikap anak buahnya terhadap pekerjaan. Selama tugas-tugas anak buahnaya diselesaikan dengan baik, mereka tidak terlalu mempermasalahkan sikap. Dan jika sikap anak buahnya sudah kelewatan, mereka juga tidak terlalu ambil pusing. Karena mereka memiliki kekuatan untuk menggantinya dengan orang-orang yang lebih baik. Makanya, keliru jika kita mengira bisa ‘mengirim pesan’ negatif kepada atasan dengan cara itu. Sebab, rendahnya EE kita hanyalah akan menyiksa diri kita sendiri.
 
3.      Rendahnya EE menurunkan hasil penilaian kinerja. Misalnya, Anda adalah seorang atasan yang mempunyai anak buah dengan EE yang sangat rendah. Apakah di akhir tahun Anda akan memberi penilaian kinerja yang baik kepadanya? Anda mungkin memberi nilai bagus untuk penyelesaian tugas-tugas sesuai job desc. Tetapi performance appraisal tidak melulu soal selesai atau tidaknya pekerjaan, melainkan juga penilaian tentang perilaku dan sikap karyawan. Jika Anda pun tidak akan pernah memberi nilai bagus kepada anak buah yang punya EE rendah, maka mengapa Anda berharap atasan memberi nilai tinggi kepada Anda yang memiliki EE sama rendahnya? Hukum yang sama pasti berlaku; atasan Anda pun tidak akan pernah memberi penilaian kinerja yang baik kepada Anda jika engagement Anda kepada pekerjaan juga rendah.
 
4.      Rendahnya EE menyebabkan timbulnya penyakit. Ada orang yang memasabodohkan penilaian kinerja atasannya. “Percuma!” katanya. “Tidak ada pengeruhnya kepada kenaikan gaji, juga.” Begitu komentar yang lazim saya dengar. “Bonus saya tidak ada kaitanya dengan appraisal Pak,” kata yang lainnya. Anda boleh tidak peduli seperti mereka itu. Tetapi, penting bagi Anda untuk mengetahui bahwa penelitian yang dilakukan di tingkat global menunjukkan adanya hubungan yang erat antara rendahnya EE dengan penyakit-penyakit yang diderita seorang karyawan. Diantara penyakit yang berkaitan dengan rendahnya EE adalah; sakit kepala, pusing, asam lambung, dan stress yang tidak kunjung sembuh. Menurut pendapat Anda, pentingkah kesehatan itu? Jika iya, naikkah tingkat engagement Anda kepada pekerjaan. Karena rendahnya EE terbukti menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit fisik dan mental yang berkepanjangan.
 
5.      Rendahnya EE menjauhkan kesempatan dipromosi. Tidak perduli betapa banyaknya peluang promosi di tempat kerja Anda, jika hasil penilaian kinerja tahunan Anda buruk, ditambah dengan kesehatan fisik dan mental Anda yang juga buruk, maka kecil sekali kemungkinannya bagi Anda untuk mendapatkan promosi itu. Lagi pula, orang lain bisa dengan mudah merasakan jika Anda tidak benar-benar ikhlas dengan pekerjaan Anda. Orang lain juga tahu jika Anda tidak nyaman di kantor. Jadi, orang lain juga punya alasan untuk mendukung Anda dipromosikan. Padahal setahu saya, sebelum keputusan promosi dibuat; nama setiap kandidat terlebih dahulu ‘diedarkan’ kepada beberapa pengambil keputusan untuk diberi komentar dan masukan. Jadi jika Anda ingin dipromosi, maka pastikan bahwa Anda memiliki tingkat engagement yang tinggi. Karena rendahnya EE hanya akan semakin menjauhkan Anda dari kesempatan untuk dipromosi.
 
Siapa yang lebih berkepentingan dengan engagement selain karyawan sendiri? Tidak ada. Kita sendirilah yang paling berkepentingan. Karena itu, berhentilah menyalahkan perusahaan dan atasan Anda untuk rendahnya tingkat engagement Anda kepada perusahaan. Andalah yang paling berkepentingan. Dan Andalah yang bisa membenahinya untuk diri Anda sendiri.

Catatan Kaki:
Sesehatan fisik dan mental seorang karyawan sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya tingkat engagement yang dia miliki terhadap pekerjaan.