Senin, 30 Juli 2012

Antara Tuntutan Dan Tanggungjawab

Catatan Kepala: ”Resolusi ketenagakerjaan lebih berpeluang untuk bisa dicapai ketika masing-masing bersedia membangun kesetaraan antara tuntutan dan tanggungjawab.”
 
Ketika para buruh berdemo, apa yang Anda rasakan? Mungkin ada yang merasa prihatin. Kasihan. Merasa terwakili. Terganggu. Atau ada juga mengharapkan buruh di tempat lain ikut melakukan demo seperti itu. Undang-undang perburuhan menjelaskan bahwa yang disebut sebagai buruh itu adalah ‘setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain’. Maka tidak peduli setinggi apapun gaji atau jabatan Anda, jika menerima upah atau imbalan atas pekerjaan yang Anda lakukan maka Anda adalah buruh. Saya juga buruh. Baik dulu ketika bekerja sebagai eksekutif profesional, maupun sekarang sebagai trainer dan pembicara publik. Saya bekerja untuk perusahaan yang menugaskan saya memberikan pelatihan, dan saya mendapatkan upah dari pekerjaan yang saya lakukan. Kita, sama buruhnya seperti mereka. Maka sebagai sesama buruh kita perlu saling menguatkan dan saling mengajak kepada kebaikan. Termasuk menemukan cara yang lebih baik untuk meningkatkan tarap hidupnya selain melalui demo.  Adakah cara lain itu? Ada.
 
Ketiga anak saya ‘berbondong-bondong’ memasuki kamar kami. Tujuannya; mengajukan petisi tentang kenaikan uang jajan. “Temanku dikasih Papanya bla..bla..bla..” katanya. Argumennya tidak laku. “Temanku jajannya blablabla…” Menguap juga. Tidak saya terima. Lalu katanya; “Yah, aku kan sekarang sekolahnya sampai sore terus….” Nah, yang ini baru masuk kedalam perhatian saya. Setelah kalkulasi ini-itu, akhirnya saya sadar bahwa ‘nilai wajar’ uang jajannya perlu disesuaikan. Maka saya pun menyetujui tuntutannya. Tapi kenaikan itu tidak gratis. They have to do something in return. Apa itu? Salah satu kebiasaan mereka yang sulit untuk diperabaiki adalah ‘malas mandi sore’. Harus disuruh dulu. Baru mau mandi. Maka kami pun membuat kesepakatan ini: “Saya menambah uang jajan harian, sedangkan mereka harus mandi sebelum magrib tanpa disuruh.” Konsekuensinya, kalau tidak mandi sebelum magrib jatah uang jajannya dipotong sebesar ‘kenaikan’ yang disepakati. Deal. Sejak saat itu, kami tidak perlu lagi berteriak-teriak menyuruh mereka mandi. Tidak sama, tapi mirip dengan tuntutan klasik para buruh kepada perusahaan. Hanya ada satu cara untuk menyelesaikannya, yaitu; pengambil keputusan melihat secara jernih kondisi real dan kebutuhan pekerja lalu sekuat tenaga memenuhinya. Dan para pekerja, memperbaiki sikap serta perilaku kerjanya untuk menghasilkan produktivitas yang lebih baik sehingga perusahaan menjadi lebih kompetitif dan lebih berdaya saing. Resolusi ketenagakerjaan lebih berpeluang untuk bisa dicapai ketika masing-masing bersedia membangun kesetaraan antara tuntutan dan tanggungjawab. Bagi Anda yang tertarik menemani saya mendalami kesetaraan antara tuntutan dan tanggungjawab ini, saya ajak memulainya dengan menerapkan 5 sudut pandang Natural Intelligence (NatIn™), berikut ini:
 
1.      Tunaikan tanggungjawab masing-masing.  Perusahaan itu dibuat dengan tujuan untuk mencetak laba. Sifat dasarnya demikian. Itu tidak selalu berarti buruk. Memang perusahaan harus untung. Jika tidak, takkan pernah ada orang yang tertarik berinvestasi. Sebaliknya, seseorang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tak seorang pun mau bekerja gratisan. Sifat alami kita demikian. Mungkin, masih banyak pengusaha yang mengabaikan tanggungjawabnya. Sama seperti halnya para pekerja yang tidak menjalankan tanggungjawab profesionalnya. Sebagai pekerja, kita menuntut perusahaan menunaikan tanggungjawabnya. Seyogyanya, kita juga  memastikan tanggungjawab kita sudah tunai seluruhnya. “Gua sudah paham itu!” Mungkin kita berpikir begitu. Paham, tidak berarti melaksanakannya dengan penuh. Zaman sekarang, mudah melihat karyawan yang tidak sepenuhnya menjalankan amanahnya di jam ketika seharusnya mereka bekerja. Bahkan dikalangan mereka yang sudah dibayar besar. Ini bukan sekedar soal etika profesional. Melainkan juga penyokong handal ketika suatu saat nanti kita ‘menuntut’ sesuatu pada perusahaan. Jika tanggungjawab kita belum ditunaikan sebaik-baiknya, bagaimana kita mengharapkan adanya kenaikan? Jelas. Kedua belah pihak memiliki kebutuhan. Dan keduanya bisa saling menutupi kebutuhan itu dengan menunaikan tanggungjawabnya masing-masing.
 
2.      Tingkatkan kompetensi diri. “Pekerja selalu berada pada posisi lemah!” begitu system nilai yang sering kita dengar dihembuskan oleh banyak orang. Validkah? Hanya bagi pekerja-pekerja yang kompetensinya rata-rata saja. Sedangkan bagi pekerja-pekerja yang memiliki kompetensi tinggi, hukum yang berlaku justru sebaliknya. Posisi tawar mereka, justru lebih tinggi dari perusahaan. Maka tantangannya bagi kita adalah; apakah kita sanggup membangun kompetensi diri itu atau tidak. Bisa, jika kita mau menempuh jalannya. Memangnya ada yang tidak mau? Banyak. Misalnya. Dalam satu hari, berapa banyak waktu yang kita alokasikan secara khusus untuk mempelajari hal-hal baru? Selalu hal baru? Tidak juga. Pertanyaannya bisa berubah menjadi; dalam setiap pekerjaan yang kita lakukan, tambahan ilmu atau keterampilan apa yang kita dapatkan?  Percayalah, bahkan dalam setiap pekerjaan rutin yang kita lakukan, selalu ada aspek yang bisa kita pertajam. Saya tidak ragu untuk bilang ‘selalu’. Sebutkan sebuah pekerjaan paling rutin dan membosankan di dunia ini. Operator mesin? Office boy? Atau Apa? Mari cermati sekali lagi. Bahkan dalam pekerjaan paling monoton sekalipun, selalu ada peluang untuk melalukan perbaikan. Makanya kita mengenal istilah ‘continuous improvement’. Karena kita percaya, bahwa; selalu ada ruang untuk perbaikan dalam setiap pekerjaan yang sehari-hari kita lakukan. Sehingga untuk meningkatkan kompetensi, kita tidak kekurangan syarat apapun.  Tinggal melakukannya saja. Dan ketika kompetensi kita menjadi unggul, maka kita; menjadi aset bernilai tinggi dihadapan perusahaan.
 
3.      Memperbaiki pemahaman terhadap kontribusi. Setiap tahun, Anda naik gaji nggak? Waaah, bisa gantian darah yang naik keubun-ubun kalau tidak naik gaji, ya? Pertanyaan berikutnya; Setiap tahun kontribusi Anda naik nggak? “Naik dong!” mungkin begitu jawabannya. Buktinya target naik terus, kan? Benar. Target naik terus. Tetapi apakah pencapaian kita juga ikut naik? Setiap kali tercapai target, ya naik. Kalau target tidak tercapai, ya weleh-weleh-weleh. Padahal gaji sudah naik duluan diawal tahun lho. Baiklah. Target tercapai. Tetapi, apakah profit perusahaan juga naik dengan kenaikan pencapaian taget itu? Belum tentu. Mereka yang paham neraca profit and lost, mengerti betul bahwa apa yang kita sebut sebagai omset atau penghasilan perusahaan itu tidak sama artinya dengan laba perusahaan. Pekerja seperti kita sering menilai kekuatan perusahaan dari omsetnya. Sedangkan pemilik modal melihat aspek labanya. Setiap sen nilai investasinya diukur efeknya terhadap laba. Termasuk gaji, benefit, dan kompensasi yang kita terima. Misalnya, saya menghasilkan penjualan $100 sedangkan Anda hanya $90. Apakah kontribusi saya lebih besar dari Anda? Iyya Dong! Karenanya saya boleh menuntut kenaikan gaji dan bonus yang lebih besar? Saya lebih bagus dalam bekerja? Saya lebih bernilai? Belum tentu. Mari teliti. Saya digaji $10, fasilitas $10, dan kasih diskon ke klien 20%, biaya operasional saya $10. Maka return saya = 100%. Sedangkan Anda digaji sama $10, fasilitas sama $10, diskon ke klien 10%, biaya operasional $6. Maka return Anda 157%. Sekarang siapa berkontribusi lebih banyak? Gaji dan fasilitas adalah faktor perusahaan yang sudah memperlakukan kita sama. Tapi diskon dan biaya operasional adalah faktor kita sebagai karyawan. Dan, itulah yang menentukan nilai kontribusi kita yang sesungguhnya kepada perusahaan.
 
4.      Lindungi diri dari provokasi. Kadang-kadang ada juga orang yang senang memprovokasi. Mereka memanas-manasi orang lain untuk melakukan ini dan itu. Protes kesana kemari. Berbondong kesana bergerombol kesini. Turun ke jalan sambil teriak-teriak dibawah terik matahari, atau bekerumum dalam guyuran hujan. Sedangkan mereka sendiri? Boleh jadi tengah menikmati kursi empuknya di ruang kerja yang sejuk. Atau nonton siaran langsung pemogokan itu melalui tivi layar lebar di sebuah kafe yang menjual kopi seharga $4 per cangkir. Sungguh, kita tidak mampu mengontrol para provokator. Tetapi, mungkin kita bisa melindungi diri agar tidak mudah terprovokasi.  Salah satu cara sederhana untuk melakukannya adalah; setiap kali diajak untuk turun ke jalan – oleh siapapun – tanyakan terlebih dahulu kepada diri sendiri; apakah saya harus melakukan itu? Mengapa? Jika saya melakukan itu, siapa yang paling banyak mengambil keuntungannya? Apa resikonya buat saya. Apa manfaatnya bagi istri dan anak-anak saya? Tidak adakah cara lain yang bisa ditempuh? Ketika Anda sudah begitu sibuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu; Anda tidak lagi memiliki waktu untuk ikut-ikutan turun ke jalan. Apakah turun ke jalan itu salah? Jawabannya bisa diperdebarkan. Tepat atau tidaknya, justru bisa ditemukan dalam jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang tadi diajukan. Sehingga ketika melakukannya, kita tidak sekedar ikut-ikutan. Bukan karena dibakar oleh omong besar dan ulah tak kelihatan para provokator yang setiap bulan sudah bergaji tinggi hingga tak mungkin lagi mau ikut berbaur dengan para demonstran di jalan.
 
5.      Lakukan demo seorang diri.  Ngawur! Mana ada demo sendirian? Ada. Tapi kan nggak seru! Lho, tujuannya mau seru atau mendapatkan kenaikan pendapatan? Kalau mau sekedar seru ya silakan. Tetapi kalau ingin mendapatkan perhatian dari management agar mereka mau membayar kita lebih mahal, kita harus melakukan demo itu sendirian. Tidak ada hiruk pikuk. Tidak ada penghujatan. Tidak ada kepanasan atau kehujanan. Gimana caranya? Anda demonstrasikan seluruh kemampuan tinggi dan kualitas kerja terbaik yang Anda miliki itu setiap hari. Percaya sama saya; cepat atau lambat nama Anda akan tercantum dalam daftar pekerja-pekerja yang layak untuk mendapatkan bayaran tinggi. Tidak percaya? Buktikan sendiri. “Tapi gua udah lakukan semua yang terbaik buat perusahaan, kok masih gini-gini aja!” mungkin ada yang protes begitu. Dua hal saja. Satu: Anda ‘merasa’ sudah melakukan maksimal yang terbaik dari kemampuan diri Anda sesungguhnya. Padahal belum. Dua: Anda tidak bekerja di tempat yang tepat. Maka solusi #1: Berhenti protes, dan fokuskan diri untuk ‘benar-benar’ mencurahkan kemampuan optimal diri Anda dalam setiap pekerjaan yang Anda tangani sehari-hari. Fokus. Kalau perlu, matikan itu blackberry selama jam kerja. Biar tidak mengganggu konsentrasi. Dan solusi #2: Jika Anda yakin sudah jadi yang terbaik itu, cari aja perusahaan lain. Jangan takut tidak diterima. Karena jika benar Anda itu punya kemampuan yang tinggi, ketahuilah; harga Anda mahal sekali di luar sana. Jadi, berhenti protes, dan carilah perusahaan lain yang benar-benar faham; bagaimana memperlakukan star performersnya. Begitulah cara demo seorang diri yang bisa Anda lakukan. Lebih aman. Lebih berpeluang mendapatkan apa yang Anda inginkan.
 
Posisi kita sebagai pekerja, setara dengan posisi perusahaan sebagai pemberi kerja. Jika ada yang merasa lebih rendah, mungkin karena belum berhasil menaikkan tingkat dan kualitas dirinya sampai layak dipandang sejajar. Maka mulailah sekarang juga. Turun kejalan mungkin bisa menjadi solusi. Tetapi, ada cara lain yang bisa kita tempuh dengan resiko lebih kecil, dan peluang berhasil lebih besar. Lihat kembali poin-poin yang sudah kita bahas diatas. Jika Anda mengira cara itu hanya cocok bagi orang-orang yang sudah punya jabatan, ketahuilah bahwa; cara itu juga cocok bagi mereka yang masih menjadi pekerja pada level paling bawah. Mengapa saya berani berkata demikian? Karena saya pribadi telah menjalani dan membuktikannya. So, ingin memperbaiki posisi tawar Anda dihadapan perusahaan? Ikutilah ke-5 hal diatas. Insya Allah nilai diri Anda semakin tinggi.
 
Catatan Kaki:
Ketika menuntut, sebaiknya dipastikan dulu jika kita sudah menunaikan seluruh tanggungjawab yang kita emban.
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar