Senin, 30 Juli 2012

Cara Terbaik Untuk Menutupi Aib Diri Sendiri

Apakah Anda mempunyai sebuah rahasia yang tidak ingin diketahui oleh orang lain?  Saya yakin sekali bahwa setiap orang memiliki hal serupa itu. Yang termasuk kedalam rahasia itu bisa bermacam-macam. Namun, kita boleh memfokuskan konteksnya kepada suatu kekurangan atau kelemahan yang jika sampai ketahuan oleh orang lain, maka kita akan merasa malu sekali. Bahkan, bisa jadi rusak pula kita punya reputasi. Saya memiliki hal seperti itu lebih dari satu. Soalnya, begitu banyak hal yang kalau mengingat semua itu; kepada diri sendiri pun saya malu. Apalagi kalau harus sampai ketahuan oleh orang lain. Apakah Anda juga demikian?
 
Ketika saya masih kecil, suasana di kampung kami begitu sederhananya sehingga Ibu-Ibu sering berkumpul di depan rumah panggung yang terbuat dari kayu. Dalam situasi seperti itu tidak jarang pembicaraan mereka melenceng. Lalu tanpa disadari berubah tema untuk menggunjingkan orang lain. Biasanya, keburukan seseorang akan segera beredar ke seluruh penjuru kampung. Di zaman ketika teknologi informasi sudah sedemikian canggihnya seperti saat ini, setiap kebocoran rahasia tentang aib orang lain bisa menyeruak keseluruh penjuru bumi hanya dalam hitungan detik saja. Sedemikian mudahnya informasi menyebar. Dan sedemikian mudahnya aib seseorang menjelajah dari teritori yang satu ke wilayah lainnya. Apa lagi di zaman ini keburukan seseorang bisa menjadi komoditas baru yang bisa dieksploitasi untuk menghasilkan keuntungan material. Kita bisa mengupas tuntas aib seseorang sambil cekikikan didepan jutaan pasang mata yang ikut terhanyut dalam sensasi yang dihasilkan.
 
Padahal, siapa sih yang bisa luput dari kelemahan? Tidak ada. Kita semua mempunyai dosa. Memiliki aib. Diliputi oleh aurat yang kita ingin semua itu tertutup rapat-rapat. Anehnya, ketika kita melihat cacat orang lain; kita tiba-tiba saja menjadi kaki tangan sang penyebar kabar buruk. Lalu ikut-ikutan menyebarkannya kesana kemari. Tidak lupa ditambah dengan bumbu disana sini. Sehingga segala sesuatunya menjadi semakin bias, dan semakin tidak karuan saja. Hey, hati-hati. Bagaimana seandainya yang tengah ditelanjangi dihadapan publik itu adalah diri kita sendiri? Apakah kira-kira kita akan merasa senang? Teman saya bilang; ”Biasa saja lagi, ini kan nggak serius-serius amat.” Mungkin kita baru menganggap serius jika diri kitalah yang menjadi objeknya.
 
Guru mengaji saya menceritakan kisah Rasulullah yang menasihatkan bahwa ”Tuhan akan menutup aib seorang hamba yang berkenan menutupi aib sesamanya”.  Jadi, agak aneh juga kita ini. Di satu sisi kita ingin agar aib-aib kita tidak terbuka. Kita ingin itu tetap menjadi rahasia kita. Tetapi, di sisi yang lain kita doyan sekali memperbincangkan serta menyebar-nyebarkan aib-aib orang lain. Ketika dulu mendengarnya, saya mengira apa yang dinasihatkan Nabi itu hanya berkatian dengan urusan akhirat saja. Maksudnya, seseorang yang selama hidupnya didunia bersedia menjaga aib orang lain, maka di akhirat kelak akan ditutupi aibnya. Ternyata nasihat itu bukan semata-mata soal akhirat, melainkan berlaku sejak kini di dunia juga. Ada banyak bukti jika orang-orang yang gemar membuka aib orang lain itu tidak ditutupi Tuhan aib-aib mereka sendiri. Bahkan sepintar apapun kita menyembunyikan aib itu. Ketika kita sibuk mengaduk-aduk keburukan pribadi orang lain, tiba-tiba saja Tuhan meruntuhkan seluruh dinding yang melindungi semua aib kita.
 
Di sisi lain, nasihat Nabi itu juga merupakan sebuah penghiburan kepada siapa saja yang mau menahan diri dari keterlibatan dalam lingkaran peredaran aib-aib yang dieksploitasi dan diperdagangkan. Seolah beliau tengah bertanya; ”Apakah engkau tidak malu jika keburukan-keburukan mu diketahui oleh orang lain?”  Jika kita merasa malu, maka begitu pula halnya dengan orang lain yang kita permalukan. Maka sungguh tidak adil jika kita malu dengan aib-aib pribadi kita, namun begitu getolnya membongkar-bongkar aib orang lain. Tapi, bagaimana seandainya aib kita dibongkar dan diedar-edar oleh orang lain? Bukankah kita berhak untuk melakukan pembalasan?
 
Melakukan pembalasan? Hmmh, kedengarannya masuk akal. Tapi sebentar dulu. Siapa sih yang lebih tahu aib-aib pribadi kita selain Tuhan dan kita sendiri? Kalaupun ada orang yang tahu, pasti hanya sebagian kecilnya saja. Jadi, jika ada orang yang mengklaim diri mengetahui aib kita; pasti itu hanya sedikit saja. Sebab, masih banyak aib lain yang kita miliki namun tidak mereka ketahui. Kalaupun orang itu harus menerima pembalasan berupa terbongkarnya aib mereka sendiri, mengapa kita harus melakukannya dengan mengotori diri kita lagi? Biarkan saja. Sebab cepat atau lambat orang itu akan merasakan bagaimana seandainya aib dia sendiri yang dipertontonkan dihadapan publik. Lagi pula, saat ada seseorang yang membongkar aib kita adalah saat terbaik untuk mengatakan kepada diri sendiri;”Gue kapok! Tidak akan melakukannya lagi.”  Dengan begitu, kita bisa bertobat dengan sungguh-sungguh. Lalu berubah menjadi manusia yang lebih baik.
 
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah kita harus mengganggap sesuatu yang terjadi di sekitar kita sebagai angin lalu? Mestikah kita menjadi manusia apatis yang tidak memperdulikan apapun yang dilakukan oleh orang lain? Tidak juga. Tidak termasuk menyebarkan aib jika kita melaporkan tindakan kriminal seseorang kepada aparat penegak hukum. Justru sudah menjadi kewajiban kita untuk mencegah orang-orang disekitar kita melakukan atau mengulangi tindakan-tindakan yang merugikan orang lain. Juga tidak termasuk menyebarkan aib jika kita menjadi saksi di pengadilan. Kalau begitu, bagaimana membedakan mana menggunjing dan mana yang bukan?
 
Sekurang-kurangnya, ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, niat kita. Niat adalah segala-galanya. Berniat menjatuhkan atau mempermalukan orang lain sudah pasti mengundang kemarahan Tuhan. Sebab, seperti pesan Nabi; Tuhan tidak menyukai orang-orang yang gemar menyebar-nyebarkan aib orang lain. Maka pantaslah jika suatu saat kelak Tuhan membalasnya juga. Kedua, manfaat yang dihasilkan dari mengungkapkan hal itu. Apakah jika kita melakukannya akan menghasilkan kemanfaatan dan kemaslahatan? Jika tidak, mengapa kita mesti ikut-ikutan melakukannya juga? Ketiga, identitas orang lain. Banyak orang yang mengorek-ngorek aib dan kesalahan orang lain lalu mempertontonkan mereka dihadapan publik sambil bersembunyi dibalik kedok ’belajar dari kesalahan orang lain’.  Padahal jika kita ingin mengambil pelajaran dari kesalahan orang lain, maka kita bisa melakukannya tanpa harus menjadikannya sebagai tontonan dan tertawaan. Jika ada aib orang lain yang sampai ke tangan kita, tidak berarti kita diberi hak dan kewenangan untuk menyebarkannya juga.  
 
Adalah benar bahwa kita bisa saling belajar satu sama lain. Tapi tidak berarti kita harus saling membuka kebusukan masing-masing. Jika kita perlu menggunakan kesalahan orang lain untuk belajar memperbaiki diri demi kemaslahatan banyak orang, maka kita tidak harus menguliti sekujur tubuh orang itu dengan membuka identitasnya sedemikian gamblang. Dengan menutup aib orang lain, maka kita menjaga nama baik orang lain. Ehm, maksud saya; maka kita menjaga nama baik kita sendiri. Sebab seperti pesan Nabi, Tuhan akan menutupi aib siapa saja yang menutupi aib orang lain. Sehingga cara terbaik untuk menutupi aib diri sendiri adalah dengan menjaga aib orang lain yang terlanjur kita ketahui.

Catatan Kaki:
Tidak ada manusia yang terbebas dari aib. Sehingga ketika kita membeberkan aib orang lain, bersiap-siaplah untuk menerima perlakuan yang sama dari orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar