Senin, 30 Juli 2012

Kalau Perusahaan Berubah, Kita Ngapain?

  “Rat race,” adalah istilah yang lazim digunakan untuk menggambarkan rutinitas hidup yang kita jalani setiap hari. Khususnya Senin sampai Jumat. Bangun pagi-pagi sekali, lalu buru-buru mandi, bergegas pergi, tiba dikantor jam delapan pas, atau agak terlambat sedikit – eh banyak – karena jalanan macet. Kemudian terbenam dalam pekerjaan yang sama seperti kemarin. Begitu bel jam 5 berbunyi ‘Teng!’, otomatis alarm dalam pikiran kita berteriak ‘Go!’. Hasilnya? Ya begitu-begitu saja. Itulah “Rat race”. Saya tidak tahu jika Anda termasuk pemain dalam drama rat race seperti itu atau tidak. Tetapi, setiap orang dalam arena balapan tikus itu senantiasa bertanya-tanya; kenapa hidup gue tetap begini-begini aje? Padahal lingkungan hidup kita berubah loh. Bahkan perusahaan pun berubah. Perubahan yang semestinya menyediakan kesempatan yang melimpah terlewatkan begitu saja. Kenapa? Karena kita tidak bisa menjawab pertanyaan ini dengan baik;”Kalau perusahaan berubah, kita ngapain?” Emboh.
 
Tahun 2012 masih sekitar 7 minggu lagi. Terlalu dini untuk dipikirkan sekarang. Itu benar, jika perhatian kita hanya tertuju pada pesta meniup terompetnya. Namun, diatas meja para petinggi perusahaan sudah begitu banyak agenda yang akan dilakukan di tahun depan. Mayoritas karyawan baru mengetahuinya pada saat meeting akhir tahun atau ketika rapat awal tahun dengan para managernya. Wajar memang. Tetapi, menjadi tidak wajar jika ketika mendengarnya kita belum memiliki sikap mental yang siap untuk menerima perubahan itu. Anda, tidak bisa berharap perusahaan akan menjalankan strategi bisnis atau kebijakan yang sama di tahun depan. Maka hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah menyiapkan diri untuk menari dengan perubahan yang terjadi. Artinya, mulai sekarang kita sudah harus mempersiapkan diri untuk itu. Kita mesti sama gesitnya dengan pergerakan dokumen strategi perusaan di meja CEO. Minimal mengantisipasi. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar mempersiapkan diri menyambut perubahan di perusahaan, saya ajak memulainya dengan menggunakan kemampuan Natural Intelligence dalam memandang 5 tipe sikap orang dalam menghadapi perubahan berikut ini:   
 
1.      Pasrah pada perubahan. Boleh dibilang, sebagian besar orang pasrah saja pada perubahan. Bukan karena ingin menerimanya, namun karena mereka merasa tidak memiliki pilihan lain. Biasanya ya tidak nyaman karena ada rasa terpaksa. Memang tidak semua orang yang pasrah merasa terpaksa. Ada juga yang pasrah dengan benar-benar tulus ikhlas. Boleh? Oh boleh saja. Tetapi, jangan sampai kita memposisikan diri sebagai obyek perubahan itu. Sikap pasrah itu beresiko. Jika Anda punya atasan yang peduli, maka dengan kepasrahan itu Anda bisa mendapatkan manfaat dari perubahan. Tapi, jika atasan Anda tidak benar-benar peduli, maka Anda bisa menjadi ‘korban’ dari perubahan. Dengan kemungkinan-kemungkinan seperti itu, menurut pendapat Anda; Apakah sikap pasrah masih bisa diandalkan?
 
2.      Tidak peduli pada perubahan. Mau berubah, kek. Mau ini itu, kek. Begini begitu. Terserah saja. Ada orang yang berprinsip demikian? Banyak. “Yang penting, gua jangan diungkit-ungkit!” begitu lanjutnya. Apapun yang terjadi di perusahaan terserah management saja, asal jangan ganggu saya. Ini prinsip yang rada kompleks. Mereka yang tidak peduli pada perubahan tidak menjadi penghalang ‘gagasan’ untuk melakukan perubahan, tetapi mereka juga tidak mau mendukung proses implementasinya. Tuntutan untuk ‘tidak mengganggu kepentingan gue!’ juga sangat absurd. Sebab tidak ada perubahan bermakna yang berdampak parsial. Semua elemen perusahaan memiliki kesalingterkaitan satu sama lain, sehingga nyaris mustahil jika kondisi-kondisi penting tidak terpengaruh oleh perubahan yang signifikan. Boleh saja jika perusahaan hanya bermain didalam arena perubahan yang kecil. Tetapi, jangan berharap tahun depan akan memberikan hasil yang lebih baik. Sebab lingkungan bisnis berubah. Perilaku pelanggan berubah, strategi pesaing juga berubah. Maka mau tidak mau, perusahaan harus berubah. So, tidak peduli pada perubahan? Bukan pilihan sikap yang tepat.
 
3.      Marah pada perubahan. Aaarrrghhhtch! Tahun kemarin berubah! Tahun ini berubah! Setiap tahun berubah! Maunya apa sih, perusahaan ini?! Ada orang yang marah-marah begitu? Banyak juga. Namun dari semua upaya saya mencermati orang-orang yang mengambil sikap marah atas perubahan di perusahaan, saya tidak melihat ada orang yang ‘win’ dalam pertarungan ini. Mereka semuanya ‘menabrak tembok’. Tentu Anda tahu bagaimana rasanya jika kepala kita menabrak tembok, bukan? Benjol. Banyak karyawan yang tidak memiliki kekuatan apa-apa namun ngotot untuk melawan proses perubahan di perusahaan. Sehingga mereka bukan hanya menjadi penghalang bagi proses perubahan, melainkan juga menjadi musuh para pengambil keputusan. Siapa yang akan menang? Yang jelas, tidak dua-duanya. Kemungkinan besar win-lose. Atau mungkin lose-lose. Tapi peluang terbesarnya, perusahaan menang; dan karyawan yang melawan perubahan karena marah, biasanya kalah. Jadi, apakah marah pada perubahan bisa menjadi pilihan bijak? Definitely not.
 
4.      Menyesuaikan diri dengan perubahan.  Ini jenis orang yang bisa berdansa dengan perubahan. Meliuk kesana kemari, menari dengan gemulai bersama angin perubahan yang behembus sepoi. Anda bisa melihat sifat ini pada pohon bambu. Dia tidak pernah melawan hembusan angin seperti yang biasa dipertontonkan oleh pohon-pohon besar yang merasa dirinya tangguh. Makanya, ketika begitu banyak pohon yang runtuh – pohon yang pasrah, pohon yang tidak peduli, dan pohon yang marah – rumpun bambu sangat jarang sekali yang tumbang. Angin berubah arah, tarian bambu pun mengikuti arah perubahannya. Bahkan, mereka melakukannya sambil memainkan simfoni indah melalui gesekan daun-daunnya yang bergoyang seirama dengan angin. Di kantor, banyak juga orang yang pintar menyesuaikan diri seperti bambu ini. Biasanya mereka bertahan lebih lama. Dan berkontribusi terus sesuai dengan tuntutan perubahan. Merekalah orang-orang yang bersedia menjadi bagian dari perubahan – dan tentunya – mereka juga turut menikmati hasilnya. Apakah Anda sudah memiliki sikap mental seperti itu?
 
5.      Mengelola perubahan secara aktif. Kebanyakan orang mengira bahwa ‘mengelola perubahan’ itu hanya bisa dilakukan oleh para pengambil keputusan tertinggi. Jika saya belum mempunyai jabatan setinggi itu, bagaimana mungkin saya bisa mengelolanya? Keliru. Jabatan apapun yang Anda sandang, Anda memiliki peluang untuk mengelola perubahan. Jangan pernah mengira bahwa proses perubahan itu hanya akan berdampak pada level-level tertentu. Setiap perubahan penting di perusahaan berpengaruh langsung kepada semua level. Oleh karena itu, setiap orang pasti terkena imbasnya. Ciri orang yang mengelola perubahan itu adalah; dia mengembangkan diri sendiri sesuai dengan arah perubahan yang terjadi. Misalnya, sekarang Anda bertugas di departemen marketing. Anda rancang karir Anda kedepannya seperti apa – yang boleh jadi – ada di departemen lain. Lalu Anda menempa diri supaya bisa memiliki kualifikasi yang dibutuhkan untuk meraihnya. Ketika perubahan itu terjadi, Anda benar-benar mendapatkannya persis seperti yang Anda rancang. Jika Anda mengira ini hanya teori, Anda keliru. Saya bisa membuktikan bahwa itulah yang saya lakukan ketika masih berkarir sebagai profesional.
 
Setiap orang  berhak untuk menentukan sikan terhadap perubahan yang dialaminya dalam hidup. Anda pun punya hak itu. Tetapi hendaknya kita sadar bahwa setiap pilihan memiliki konsekensinya masing-masing. Tak seorang pun bisa memaksa Anda untuk menentukan pilihan sikap. Dan tidak seorangpun yang bisa melepaskan diri dari konsekuensi atas pilihan yang diambilnya. So, dalam menghadapi perubahan itu; sikap mental seperti apa yang akan Anda terapkan? Kita ambil pilihan nomor 4 atau nomor 5 saja yuk.
 
Catatan Kaki:
Anda boleh memilih untuk berubah atau tidak. Tapi perubahan itu akan tetap terjadi, dengan atau tanpa persetujuan Anda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar