Senin, 30 Juli 2012

Menghormati Privasi Atau Tidak Peduli?

”Jangan mencampuri urusan orang lain,” begitulah orang tua kita menasihatkan. Bagi saya pribadi, nasihat itu sangat cocok. Selain karena saya memang tidak tertarik dengan urusan orang lain, saya sendiri memiliki banyak urusan pribadi yang harus diselesaikan. Bukan hanya orang timur yang mengajarkan sistem nilai seperti itu. Orang barat pun demikian. Mereka bilang;”Mind your business!” Oleh sebab itu, ’tidak mencampuri urusan orang lain’ sudah menjadi sistem nilai universal. Masalahnya, apakah kita harus selalu demikian?
 
Ketika menjalankan tugas sebagai Ketua RT, saya mendapatkan kesadaran baru. Ternyata, kita tidak bisa benar-benar mengamalkan ajaran ”Jangan mencampuri urusan orang lain,” itu. Tidak peduli sekuat apapun usaha saya untuk menjauh dari urusan orang lain, saya tetap saja tidak bisa menghindarinya. Meski saya mencoba berlari, ’masalah orang lain’ selalu datang menghampiri. Dari mulai urusan yang sangat sepele, hingga masalah rumah tangga yang tingkat kerumitannya belum pernah saya temukan kecuali dalam sinetron-sinetron di layar kaca. 
 
Ternyata, ada situasi-situasi tertentu dimana kita justru harus ’turut campur’. Jika tidak, maka akan timbul hal-hal yang merugikan lingkungan.  Misalnya, ketika seseorang yang tidak dikenal datang di tengah malam buta ke rumah saya. Dia bilang, mau mencari istrinya. ”Lho, Anda kok mencari istri Anda ke rumah saya?” Begitu saya bertanya.  Orang itu mengatakan bahwa istrinya berada di rumah salah satu warga di lingkungan saya.
 
”Lha, kalau Anda tahu istri Anda ada di rumah itu mengapa tidak Anda ajak pulang?” Logika saya terlampau tumpul untuk menjangkau kegilaan serupa itu.  Anda kan suaminya?”
 
Percuma saja saya menggunakan semua teori komunikasi yang pernah saya pelajari. Karena yang tamu-tamu itu inginkan dari saya hanya satu hal, yaitu; menyuruh saya untuk mendobrak rumah itu.  Oho... tentu saja saya menolaknya. Bisa-bisa saya masuk penjara hanya karena mendobrak rumah orang. Meskipun mereka bersikeras punya bukti yang kuat, tapi saya sendiri tidak punya bukti sama sekali. Di luar rumah, sudah ada beberapa mobil berisi banyak orang, termasuk para orang tua dan bayi. Ini benar-benar seperti mimpi buruk. Oh, Tuhan. Ijinkan aku untuk tidak mencampuri urusan orang lain....
 
Keengganan saya untuk memenuhi permintaan itu menghasilkan beberapa umpatan dan kemarahan. Sehingga saya mempersilakan mereka memanggil polisi saja. Namun, setelah petugas polisi datang pun akhirnya keputusan dikembalikan kepada Pak RT. ”Pak RT? Itu kan gue?” hati saya kembali tergelitik. ”Tuhan, saya sendiri punya banyak masalah. Please.....”
 
Ingin sekali saya pergi, lalu bersembunyi di kamar tidur kami. Tapi, kelihatannya menjadi Ketua RT di zaman huwedhian seperti sekarang ini memang tidak gampang. Maka, dengan tongkat kekuasaan sebagai ’presiden’ di lingkungan itu, saya memutuskan untuk ’bertamu’ ke rumah orang itu besok pagi. Bukan tengah malam seperti saat ini. Atas keputusan tidak populer itu, maka saya harus menuai tambahan kekesalan orang-orang. Sebagai konsekuensi lainnya, saya mesti begadang di jalanan sampai pagi untuk dua alasan; mencegah terjadinya anarki, dan memenuhi tuntutan ’para tetamu’ itu untuk menjamin ’para tersangka’ tidak melarikan diri. Ridiculous? Exactly.  
 
Saya tidak akan menceritakan catatan sejarah apa yang selanjutnya terjadi. Cukuplah hal ini menjadi penegasan bahwa kita tidak bisa selalu tidak ikut campur dengan urusan orang lain. Ada saat dimana mencampuri urusan orang lain menjadi wajib hukumnya bagi kita. Artinya, kita ikut berdosa jika membiarkannya terus terjadi. Misalnya, jika Anda tahu teman Anda melakukan perbuatan nista. Maka membiarkannya, menjadikan Anda ’pendukung tidak langsung’ sebuah kemunkaran.
 
Pantaslah Rasulullah dahulu menasihatkan kepada ummatnya untuk ’tidak mendiamkan’ keburukan berlangsung disekitar kita. Jika kita tahu, maka kita harus ikut mencegahnya. Masalahnya, kita sering berhadapan dengan orang-orang ngawur yang kedudukan dan kekuatannya lebih tinggi dari kita. Sehingga kalaupun kita mengingatkan, mereka malah balik menghardik kita. Untunglah Rasul yang bijak itu memahami ketidakberdayaan kita. Sehingga beliau berkata; ”Jika engkau  memiliki kekuatan, maka cegahlah dengan kekuatanmu. Jika engkau tidak kuasa, cegahlah dengan lidahmu. Namun, jika dengan itupun engkau tidak mampu, maka cegahlah dengan hatimu.” Menurut beliau, yang terakhir itu adalah ciri serendah-rendahnya iman.
 
Selama ini, begitu banyak hal yang terjadi di sekitar kita. Namun kita sering tidak peduli. Makanya, tidak mengherankan jika beragam perilaku buruk seolah menjadi perbuatan yang biasa. Kita seperti tidak berdaya untuk mencegahnya. Padahal boleh jadi, keburukan-keburukan perilaku kita itu menjadikan Tuhan sangat murka. Sehingga Dia menimpakan hukuman berupa beragam macam bencana. Sekalipun begitu, kita masih saja asyik mengumbar nafsu dan perilaku buruk lainnya. Sementara orang-orang yang tidak ikut melakukannya, merasa nyaman dengan berdiam diri dan bersembunyi dibalik sistem nilai yang tidak seluruhnya benar; ”Jangan mencampuri urusan orang lain.
 
Padahal jika kita masih mengaku sebagai mahluk sosial, maka sudah sepantasnya untuk segera sadar bahwa tidak ada tindakan seseorang yang tidak berpengaruh kepada orang lain. Oleh sebab itu, ketika kita mencoba mengingatkan orang lain, maka itu bukanlah mencampuri urusan mereka. Melainkan kepedulian kita terhadap hak-hak hidup serta kepentingan bersama. Sebaliknya, ketika orang lain mengingatkan kita; hal itu tidak berarti mereka lancang ikut campur kepada urusan kita. Sebab perilaku kita, sedikit banyak mempengaruhi kepentingan mereka. Sudah saatnya kita belajar mendengar seruan-seruan kepada kebenaran. Bukan malah menuduh mereka mencampuri urusan pribadi orang lain. Apa lagi sampai berani berkata; ’Jangan membawa-bawa agama!’.
 
Keliru jika kita mengira semua kebaikan itu hanya soal agama. Kebaikan itu bersumber dari panggilan hati nurani.  Kepada agama, silakan saja kalau masih ingin saling berdebat dan menghujat. Namun kepada hati nurani? Mengapa kita masih menentangnya juga. Jika kita masih sering menolak ajakan untuk kembali kepada tuntunan agama, setidak-tidaknya kita bisa kembali kepada bisikan hati yang suci. Yang secara jujur mengatakan kepada kita bahwa perbuatan kita ini nista. Mari kita belajar untuk mendengarkan bisik hati nurani kita sendiri. Karena didalam hati, Tuhan sudah menamkan nilai-nilai menuju jalan yang Dia sukai.

Catatan Kaki:
Kita sering bersembunyi dibalik topeng privasi, hingga berani mengabaikan tugas untuk saling mengajak kepada kebaikan, dan mencegah perbuatan yang dimurkai Tuhan.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar