Selasa, 17 Juli 2012

Natin #47: Curriculum Vitae Tak Tertulis

Setiap kali tanggal muda tiba, biasanya keadaan di kantor jadi lebih relax. Boleh dibilang relaxnya itu secara lahir dan batin deh. Dompet masih berisi beberapa lembar lima puluh ribuan sisa gajian minggu lalu. Setidaknya nggak langsung lepet setelah transfer sana-sini. Masih ada sisa-sisa sumeringah diwajah semua orang. Makanya, secara mental pun agak terasa ringan.
 
Selain itu, pekerjaan di awal bulan juga biasanya rada kendor sedikit. Para boss sudah pada ngebut minta semua pekerjaan diselesaikan diakhir bulan. Para pelanggan juga begitu. Kayaknya sih emang semua orang dikendalikan oleh tanggalan. Kalau akhir bulan kayaknya pekerjaan bejibun. Telepon dari sana-sini terus berdering. Orderan juga meningkat tajam. Ya… kalau nggak ada yang order boss minta kita yang aktif mencarinya. Beda banget dengan tanggalan baru. Beban kerja seolah-olah sedang pada liburan.
 
Buat orang-orang di kubikal keadaan longgar seperti ini sepertinya selalu datang tepat waktu. Seperti sekarang ini aja misalnya. Mereka punya agenda penting yang harus segera diselesaikan. Jika tidak, maka hubungan diantara mereka tidak akan pulih seperti sedia kala. Sudah beberapa hari ini keadaannya jadi serba kikuk. Opri seperti sedang dikucilkan. Soalnya nggak ada teman-teman yang mau menyapanya. Mereka semua membiarkannya dengan sikap yang dingin. Terlebih lagi Aiti. Dia yang paling keras menuntut penjelasan Opri. Pokoknya, sebelum Opri melakukannya; Aiti tidak bakalan menggubrisnya lagi.
 
Gimana nggak gitu coba? Sejak Opri kepergok sama Voldy, citra kubikal jadi tercoreng. Sekarang sepertinya semua orang tahu kalau kubikal itu jadi tempatnya roman picisan. Yang lebih nyebelin lagi, hal itu dilakukan oleh perempuan yang selama ini dianggap paling macho. Paling dingin sama cowok. Dan paling sedikit memiliki hormon estrogen.
 
Bahayanya bukan cuman soal citra belaka. Tapi juga sudah merembet ke urusan kekompakan segala. Biasalah. Ada kubu yang setuju dan ada juga yang nggak setuju. Dalam perdebatan itu misalnya, ada yang menganggap kalau pacaran sama teman-teman sekantor itu wajar kok. Meskipun perusahaan nggak ngijinin suami-istri kerja di kantor yang sama tapi kan soal cinta itu hak asasi manusia. Nggak bisa dibatasi oleh buku putih atau kesepakatan kerja bersama.
 
Lagian juga jatuh cinta itu sudah menjadi fitrahnya manusia kok. Justru setiap orang mesti mengalami jatuh cinta. Biar semangat hidupnya jadi menggelora dan berbunga-bunga. Malahan bahaya loh kalau sampai gara-gara terlalu sibuk kerja kita melupakan urusan cinta. Percaya deh. Sehebat-hebatnya pekerjaan kita cuman bakal bisa bertahan sampai usia 55. Kalau sudah waktunya pensiun, kita nggak bisa lagi memiliki pekerjaan itu, meskipun kita sangat mencintainya. Beda dengan cinta antara lelaki dan perempuan. Nggak cuman sampai kakek nenek. Sampai mati pun bakal tetap lestari.  
 
Sibuk bekerja itu bagus-bagus aja sih. Tapi jangan sampailah melupakan soal asmara. Emangnya kalau ntar udah sukses, itu hasil yang didapatkannya buat siapa kalau bukan buat keluarga. Jangan ditunda-tunda deh. Soalnya, makin sibuk kerja bakal makin susah cari jodoh loh. Makin tinggi posisi, apa lagi. Urusannya bakal lebih ribet lagi buat para ladies. Cowok-cowok malah jadi makin keder kalau karir ceweknya lebih mengkilap.
 
Jadi kalau soal itu, yang bener Opri dong ya? Nggak tahu juga sih. Semuanya belum jelas sebelum Opri melakukan confession di depan teman-temannya. Masalahnya, Opri masih juga bersikukuh kalau dia nggak punya hubungan apa-apa dengan Voldy. Tapi, kecurigaan teman-teman malah semakin besar melihat gelagatnya. Sekarang Opri sudah mulai kelihatan kalem. Nggak terlalu berangasan seperti sebelum-sebelumnya. Akhirnya mereka malah jadi pada diem-dieman.
 
Ketika suasana di kubikal sedang membeku itu, tiba-tiba saja… ‘kling’… ada email yang masuk. Karena lagi pada melongo, mereka langsung menyambarnya. Tapi mereka langsung nggak semangat lagi ketika tahu kalau itu email dari internal perusahaan. Admin HRD yang mengirimnya. Males. Paling juga cuman pengumuman gitu-gitu aja. Orang-orang dikubikal hampir saja memencet tombol ‘trash’ untuk membuang email itu langsung ke tempat sampah. Tapi nggak jadi ketika mata mereka sekilas melihat judul email itu. Darah mereka terkesiap. Jantung mereka lebih kencang saat berdegup.  Sepertinya ada bagian dari email itu yang bisa menyihir mereka.
 
“Supervisor Needed – Submit your CV” begitu tertulis didalam subject email itu. Lalu mereka pun buru-buru membukanya. Bagaimana pun juga, semua orang punya keinginan untuk naik level. Masa sih jadi staff terus. Kalau ada kesempatan, kenapa mesti disia-siakan?
 
Bagi beberapa orang, itu adalah kesempatan yang selama ini dinanti-nantikannya. Jadinya untuk sementara waktu semua energy dalam tubuh mereka langsung terserap kesana. “Submit Your CV!” kalimat itu terngiang-ngiang di benak semua orang. Setiap jantung sepertinya berdetak semakin kencang. Apa lagi ketika mereka menyadari bahwa email itu dikirim oleh Admin HRD ke seluruh karyawan. Mereka juga menyadari kalau semua orang menginginkan posisi sebagai supervisor itu. Sekarang mereka melihat teman-teman di kiri dan kanan. Depan dan belakangnya. Mereka semua, adalah saingan.
 
Sepertinya genderang perang sudah mulai dibunyikan.
Tak seorang pun yang pikirannya bisa terbebas dari angan-angan untuk mendapatkan kesempatan menjadi supervisor itu. Harapannya ada. Apa lagi dalam email itu jelas-jelas disebutkan kalau perusahaan akan mendahulukan proses seleksi internal. Itu artinya nggak perlu takut pesaing dari luar perusahaan. Soalnya, perusahaan baru akan merekrut kandidat dari luar kalau tidak berhasil mendapatkan calon yang layak untuk dipromosi secara internal. Masa sih kok sebego itu sampai-sampai di internal nggak ada yang dianggap pantes jadi supervisor? Pasti bisa!
 
Tak ada seorang pun yang membahas atau mendiskusikan isi email itu. Semua pada diam. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Memang sih. Kalau soal ambisi, persahabatan pun bisa membeku untuk sementara waktu. Maklum. Semua orang dilanda rasa cemburu. Kecuali kalau merasa dirinya udah nggak tertarik lagi dengan hal-hal seperti itu. Yaa… setidaknya itulah yang terjadi pada Mbak Aster dan Mrs. X.
 
Buat mereka berdua, nggak ada lagi semangat untuk mengejar posisi. Sudah sajalah sampai disini. Toh mereka juga kerja bukan sebagai pencari nafkah utama. Suami mereka juga punya penghasilan yang bisa menghidupi keluarga. Mereka nggak terlalu ngoyo mengejar karir seperti gadis-gadis belia itu. Makanya mereka bisa netral ketika menyikapi gaya mereka pada sibuk menyiapkan lamaran itu.
 
Mbak Aster dan Mrs. X berkeliling ke seluruh pelosok kubikal. Baru kali ini mereka tidak disambut baik oleh orang-orang itu. Semua orang pada menyembunyikan layar monitor komputernya masing-masing. Mereka sepertinya nggak ingin ketahuan sedang membuat CV.  Setelah berkeliling itu, keduanya lalu menyimpulkan; semua orang pada nggak percaya diri dengan CV nya masing-masing.
 
Lho, bagaimana bisa ketahuan kalau mereka nggak percaya diri? Iyalah. Kalau mereka cukup yakin dengan CVnya sendiri, pastinya nggak malu dong kalau ada orang yang mau melihat. Nyatanya, semua pada menutupinya rapat-rapat. Malahan, ada yang pura-pura nggak tertarik sama kesempatan yang ditawarkan itu. Tapi dari gelagatnya sih, Mbak Aster dan Mrs. X tahu pasti kalau mereka juga diam-diam mempersiapkan berkas lamaran seperti teman-teman yang lainnya.
 
Iyya, tapi gimana ceritanya kok Mrs. X dan Mbak Aster bisa sebegitu yakinnya? Hihi.. nggak enak juga membuka rahasia mereka. Tapi ya sudahlah. Toh mereka juga sudah nggak terlalu peduli lagi. Sebenarnya, apa yang dilakukan oleh semua orang muda di kubikal itu adalah apa yang juga dulu pernah dilakukan oleh Mbak Aster dan Mrs. X.
 
Udah lama banget sih. Sewaktu mereka masih gadis-gadis belia seperti halnya teman-teman di kubikal itu. Jujur aja deh, mereka melihat anak-anak muda itu seperti melihat dirinya sendiri beberapa tahun silam. Makanya mereka sering mesam-mesem aja menyaksikan kelucuan dan keluguan para ambisius muda itu.
 
“Elo bingung kan, mesti nulis apa di CV elo?” Mbak Aster menggoda Jeanice.
Orang yang digoda terperanjat bukan kepalang. Bukan karena takut ketahuan isi dokumen CV yang dibuatnya. Tapi, saat itu dia sedang fokus banget mikirin apa yang mesti di tulis. Dia kaget karena tiba-tiba saja ada orang yang bicara persis di belakang telinganya. Dan lebih kaget lagi karena orang itu tahu persis kalau dia bingung mesti nulis apa di CV itu. Tapi sebelum Jeanice sempat merespon, kedua senior itu sudah keburu ngeloyor.
 
“Naah.. kalau elo nih ya tipe cewek yang suka yang panjang-panjang….” Mrs. X nyeletuk dibelakang Fiancy. Suaranya sengaja dibikin keras sampai semua bisa dengar.
 
Pastinya orang yang diceletukin itu protes berat. “Apaa-an sih!” katanya. Mukanya merah gara-gara rasa malu yang nggak tertahankan.
 
“Lah itu, CV elo kok sampai berlembar-lembar begitu.” Timpal Mbak Aster.
“Siapa yang mau baca CV sepanjang itu, non….?” Tambah Mrs. X.
 
Semua orang di kubikal sampai pada ngeliatin Fiancy. Tapi buru-buru memalingkan muka lagi berpura-pura nggak tahu. Ada juga yang cepet-sepet menghapus sebagian CVnya bia nggak ketahuan panjang juga. Sekarang mereka nyadar kalau ada 2 mahluk kadaluarsa yang gentayangan mengomentari CV mereka. Makanya mereka berusaha protektif biar nggak mendapatkan komentar yang sama miringnya.
 
Nyadar sudah nggak bisa lagi ngintip layar monitor yang sedang pada bikin CV itu, Mbak Aster dan Mrs.X cuman bisa mondar-mandir sambil nyengir.
“Elo pade nggak usah khawatir,” kata mereka. “Kita juga dulu kayak gitu kok…”
 
Wajah-wajah lugu itu terlihat gelisah, ‘sotoy banget sih ibu-ibu stok lama ini,’ begitulah pikiran yang mengisi benak mereka. Males banget deh buat dengerin ocehan keduanya. Tapi kekesalan mereka tidak membuat kedua veteran itu berhenti bicara.
 
Dengan gayanya yang kayak tante-tante itu Mbak Aster dan Mrx. X bicara saling bergantian. Sahut menyahut seperti presenter tivi yang sedang membacakan breaking news. Seperti baca berita basi gitu deh, nggak seorang pun penghuni kubikal yang tertarik mendengarnya. Kecuali ketika Mbak Aster mengatakan jika membuat CV itu, cukup satu halaman saja.
 
Hah? Satu halaman? Bukankah setiap orang punya banyak hal yang bisa dibanggakannya. Eh, bisa di tonjolkannya untuk membuat pewawancara tertarik kepada mereka?
 
“CV itu beda dengan novel,” begitu kata mereka. “HRD cuman punya waktu sedikit untuk menyeleksi sedemikian banyaknya dokumen lamaran yang diterima.” Tambahnya. “Makanya, CV satu halaman yang memuat aspek-aspek penting yang relevan dengan pekerjaan yang elo lamar jauh lebih bernilai daripada CV yang panjangnya berlembar-lembar…..”
 
Sekarang ocehan mereka mulai terdengar masuk akal. Apalagi hal itu diucapkan oleh orang-orang yang tidak memiliki perbenturan kepentingan. Mereka tidak ikut melamar. Jadi pendapatnya netral buat semua orang. Lama kelamaan, terjadi dialog seru diantara para senior citizen itu dengan para anggota muda di perusahaan. Sampai akhirnya mereka nggak bingung lagi untuk menulis apa dalam CV yang akan mereka ajukan.
 
“Wah, kalau seguru seilmu gini, kita nggak bisa mengungguli teman dong…” celetuk Sekris. Masuk akal juga sih. Soalnya sekarang semua gadis belia itu sudah bisa membuat CV dengan teknik yang lebih baik dari 2 master senior yang secara sukarela menghambur-hamburkan ilmunya tanpa minta bayaran.
 
“Nggak masalah,” kata Mbak Aster.
“Kan elo pade punya kelebihan masing-masing yang bisa ditonjolkan,” sambung Mrs. X.
Masuk akal juga. Setiap orang punya keunikan. Atau pencapaian khsusus. Atau kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Makanya, selalu ada hal kompetitif yang dimiliki setiap pribadi. Meski begitu, ternyata nggak semua keunggulan diri mesti dicantumkan dalam CV. Kalau punya banyak hal bagus, pilih aja hal-hal yang berkaitan langsung dengan jenis pekerjaan yang dilamar itu.
 
Sekarang mereka sudah siap dengan dokumen CVnya masing-masing. Hanya satu halaman. Tapi bisa menjelaskan keunggulan masing-masing yang layak dipertimbangkan. Dengan CV yang bobotnya sangat tinggi, mereka menjadi semakin percaya diri.  
 
Langkah selanjutnya adalah mengirim CV itu sesuai arahan dari Admin HRD tadi. CV itu harus diterima HRD hari itu juga. Makanya begitu yakin sudah mempunyai CV yang terbaik, mereka langsung memencet tombol ‘attachement’ di layar monitor. Hanya perlu beberapa detik aja sih. File CV itu pun sudah siap diemail. Tinggal pencet tombol ‘send’ semuanya beres.
 
Tetapi, sebelum mereka sempat memencet tombol itu, ada email kedua dari Admin HRD. Pake tanda ‘Urgent’ dengan subject yang ditulis pake huruf kapital semua. Judul email kedua ini begini;”PRINSIP MENDASAR DALAM PEMBUATAN CV!”
 
Wadduh, untung saja CV yang tadi belum pada dikirim. Coba kalau sudah terlajur, nggak bakal bisa merevisinya. Kan nggak lucu kalau CV yang sudah diajukan diralat lagi. Kelihatan banget kalau kita nggak profesional. Mana bisa jadi supervisor kalau bikin CV aja mesti bolak-balik begitu?
 
Mereka pun buru-buru membuka email kedua itu. Terdorong oleh rasa penasaran tentang prinsip mendasar tentang pembuatan CV itu. Bagaimana pun juga, mereka ingin membuat CV yang paling baik. Jangan sampai CV mereka terlihat alakadarnya, atau biasa-biasa aja. Apalagi kalau terlihat norak dengan format standar yang sama sekali nggak menarik minat. Bahkan untuk sekedar melihatnya saja.
 
Hanya satu klik saja. Maka isi email kedua itu pun langsung terpampang dilayar monitor. Ternyata apa yang disebut dengan prinsip mendasar dalam pembuatan CV itu sederhana sekali. Hanya dua baris kalimat ini:
 
CV ADALAH RANGKUMAN PERILAKU TERBAIK KITA
DALAM PEKERJAAN YANG KITA LAKUKAN SEHARI-HARI
 
Mereka tertegun membaca email itu. Jelas sekali jika pengirimnya adalah Admin HRD. Tapi, mereka mengenal betul isinya. Mereka yakin jika itu adalah menu hari ini yang Natin sajikan untuk mereka. Lalu mereka merenungkan apa yang Natin maksudkan dalam pesan via email itu.
 
Sepertinya Natin ingin menegaskan bahwa banyak orang yang bisa menuliskan apa saja pada CVnya. Sebagiannya benar. Dan sebagiannya lagi hanya karangan belaka. Sebagian obyektif, dan sebagiannya lagi hanyalah prestasi biasa yang dilebih-lebihkan saja. Sebagian valid, dan sebagiannya lagi hanyalah bumbu agar orang yang membaca CV itu tertarik oleh sedikit tipu-tipu.
 
Didalam dokumen CV kita memang bisa menuliskan apa saja. Semuanya tentang kehebatan diri kita. Tapi menurut Natin, tidak ada dokumen lain yang lebih canggih dalam menjelaskan kualitas pribadi kita selain perilaku terbaik kita dalam pekerjaan sehari-hari. Jelas sekali jika Natin ingin agar orang-orang di kubikal menyadari bahwa tindakan aktual itu jauh lebih bernilai daripada apa yang tertulis diatas kertas. Karena apa yang dilihat orang dalam keseharian kita jauh lebih valid daripada apa yang kita tuliskan tentang diri kita sendiri diatas selembar kertas.
 
Itu loh sebabnya, mengapa ada orang yang ditawari pekerjaan padahal dia nggak melamarnya sama sekali. Boro-boro mengirim CV, mengetahui ada lowongan kerja itu juga mereka nggak tahu. Tapi kenapa mereka yang ditawari? Itu karena perilaku kerja mereka sehari-hari dilihat oleh seseorang tanpa dia sendiri menyadari. Seperti Natin bilang, CV itu adalah rangkuman dari perilaku terbaik kita dalam pekerjaan yang kita lakukan sehari-hari. Artinya, setiap hari sebenarnya kita sedang ‘menulis’ CV. Hanya saja kita tidak menyadari. Padahal, para pengambil keputusan tidak pernah henti mengamati.
 
Semua orang di kubikal kembali membuka draft email yang mereka buat tadi. Lalu membuka attachment berisi CV yang hendak mereka kirimkan. Sekali lagi mereka membaca CV itu. Merenungkan poin demi poin yang mereka tulis dalam CV itu, lalu bertanya kedalam dirinya sendiri; ‘beginikah cara gue menjalani hari-hari gue dalam pekerjaan sehari-hari….?’ Sekarang mereka bisa menilai, seberapa validnyakan CV yang mereka buat itu.
 
“Kalau ada yang cari saya, bilang aja saya sedang ke toko peralatan kantor ya Kris…” Suara Pak Mergy melumerkan kebekuan yang menelusup kedalam hati mereka.
“Orderan kita sudah datang kok Pak,” jawab Sekris. “Semua keperluan kantor kita sudah tersedia…” tambahnya.
 
“Saya tahu itu, Kris,” jawab Pak Mergy. “Tapi saya yakin kalau yang saya cari tidak ada disini…” katanya lagi.
“Memangnya Bapak cari apa, Pak?” Opri nyeletuk dari belakang.
“Enggh… anu.. saya.. memerlukan…emh… formulir cara pembuatan CV….”
 
Hooooooh……. Orang-orang langsung merasa lemas…....  
 
Tiba-tiba saja semua orang di kubikal menyadari bahwa segala hal yang kita lakukan sehari-hari di kantor itu adalah CV kita. Jika kita menjadi karyawan yang berperilaku baik. Berprestasi tinggi. Serta menunjukkan segudang hal positif lainnya, maka CV kita yang baik itu secara otomatis telah dikirimkan ke meja pengawasan para pengambil keputusan. Para pemimpin hebat menyeleksi kandidat justru dari ‘dokumen’ yang tidak tertulis itu.  Makanya mereka sering menunjuk orang secara langsung untuk menduduki posisi-posisi penting. Karena orang itu, berhasil ‘mengirimkan’ CV tak tertulis yang menimbulkan kesan positif dimata para pengambil keputusan.
 
Kalau selama ini kantor kita lebih suka merekrut orang dari luar untuk menempati posisi-posisi penting. Mungkin itu terjadi karena kita yang berada didalamnya belum pandai untuk menujukkan CV tak tertulis yang bagus. Persis seperti yang Natin katakan; setiap tindakan kita, menggoreskan satu kalimat dalam CV aktual kita di kantor. Makanya kalau   ingin punya CV yang bagus,  kita mesti memastikan semua hal yang kita lakukan di kantor juga bagus.  Dengan begitu, kita akan selalu menjadi kandidat yang diperhitungkan. Setiap kali ada kesempatan untuk menapaki posisi yang lebih tinggi. Ditempat kerja kita. Dengan begitu, kita nggak mesti sibuk mencari peluang baru di koran sabtu minggu. Di kantor kita juga banyak peluang kok. Cobain deh. Insya Allah.


Catatan Kaki:
Belajarlah untuk membuat CV tak tertulis melalui perilaku dan kinerja bagus Anda sehari-hari. Dengan CV itu Anda mendapatkan kunci menuju promosi secara internal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar