Selasa, 31 Juli 2012

Natin Diantara Fakta Dan Rumor

Libur panjang berakhir sudah.
Lumayan. Jumat tanggal merah. Sabtu  dan Minggu, bukan hari kerja. Bablas 3 hari nggak mesti setor muka ke mandor di kantor.  
 
Tapi ya ini kan sudah Senin lagi. Ya sudah berakhir toh liburannya.
Waktunya kerja lagi. Hari ini mesti kerja lebih ekstra. Semua orang juga tahu kalau sehabis liburan panjang, pasti kerjaan bertumpuk-tumpuk. Kalau nggak gesit di hari Senin ini. Pasti besok tambah berat lagi. Mangkanya, ayo semua semangaaaaaaaadddh!
 
Setiap kali habis liburan panjang, orang-orang di kubikal berkerumun. Biasa. Saling bertukar icip-icip oleh-oleh yang mereka peroleh di tempat liburan. Sambil sekalian bercerita tentang acara liburannya masing-masing.
 
Rata-rata mereka pergi bersama keluarga. Ke tempat rekreasi. Tapi, karena gaji bulan ini baru turun hari Senin ya pilih tempat-tempat yang irit saja. Yang penting anak-anak pada heppi.
 
Yang paling kesian para jomblo. Libur panjang malah tambah setress doang. Tapi, ya mau gimana lagi. Terima nasib aja. Selagi masih ada guling montok di kamar. Bisa pelukan seharian. Rasanya sih..., sama aja. Cuman, nggak merintih waktu menciumnya.
 
Yang paling heboh ceritanya orang-orang yang liburan ke Anyer. Main cebur-ceburan, dan bikin rakit dari ban bekas dan batangan bambu. Seru, katanya. Lumayan. Bisa jadi refreshing dari kerjaan yang tuntutannya naudzubillah. Mereka itu orang-orang hebat. Dan kelak, mereka bakal menikmati buah dari kerja keras dan kegigihannya.
 
”Gue seneng banget,” teriak Opri. ”Selama 3 hari nggak mesti mikirin Natin,” lanjutnya.
Sontak saja. Semua orang terdiam. Yang tadi tertawa. Berhenti tertawa. Yang tadi makan keripik pedas. Berhenti mengunyah. Lupa kalau lidahnya sudah terbakar cabe merah.
 
Semua keceriaan yang sedang mereka nikmati tiba-tiba sirna begitu saja. Tepat ketika Opri menyebut kata ’ Natin.’  Oh. Liburan benar-benar telah berakhir.
 
”Emh.. s-sori. Sori. Gue....keceplosan.” Opri sadar jika kata-katanya telah mengungkit sebuah kenangan yang tidak ingin lagi mereka ingat. Tapi sudah terlambat. Semua orang sudah terlanjur ingat lagi.
 
Tak ada yang menyalahkan Opri. Tapi. Tak ada lagi selera untuk membagi cerita tentang liburan. Mungkin memang sudah saatnya kembali kepada realitas. Dalam dunia komputer, dan berkas-berkas.
 
Satu demi satu meninggalkan kerumunan. Melangkah ke kubikalnya masing-masing. Opri jadi nggak enak hati. Tapi, dia juga nggak mau disebut penyebab membekunya suasana di Senin pertama ini.
 
”Lagian siapa juga yang memulai omong kosong soal Natin ini!” teriaknya.
 
Kejadian yang tidak direncanakan Opri berulang untuk kedua kalinya. Semua orang berhenti. Belum satu pun yang sudah tiba di kubikalnya.
 
Kepala boleh beda. Tapi isinya sama; ”Iya ya, siapa orang yang pertama kali memulai omong kosong soal Natin ini!?”
 
Sembilan setengah detik setelah itu. Semua wajah berpaling. Setiap pasang mata tertuju kepada sosok subur nan bongsor.
 
Merasa dipelototi. Sekris meringis.
”Kok, elo pade ngeliatin gue siiiiih.....?”
 
”Elo tuh yang mulai!” teriak semua penghuni kubikal.
”Yeeeee, kok gue siiiiih.....” protes Sekris.
 
Kericuhan kecil berlangsung selama beberapa menit. Mereka melakukan flash back. Merunut ke belakang. Sampai kepada adegan ketika pekan lalu Sekris berhenti didepan ruangan kosong untuk Managing Direktur. Pada saat itulah opini semua orang digiring kepada sebuah kesimpulan bahwa; Natin ditawari jadi Managing Director.
 
Ternyata benar. Karyawan itu butuh liburan yang berkualitas untuk bisa berpikir jernih. Tanpa liburan yang cukup, otak mereka hanya dipenuhi pikiran yang belum tentu benar. Seperti orang-orang di kubikal itu. Mereka mulai mempertanyakan; ”Apa benar, Natin ditawari jabatan Managing Director?”
 
”Kris, elo yakin Natin ditawari jadi Managing Director?” desak Opri.
”Lhoooo..... kok nanya ke gue sih....” wajah bulat itu dipenuhi kecemasan. ”Kan, bukan gue yang mengambil kesimpulan itu,” desahnya. ”Kita semua, kaaaan....?” lanjutnya.
 
Nggak ada yang boleh nyalahin Sekris. Karena kesimpulan itu memang dibuat atas keputusan bulat. Tapi.... APA GUNANYA rapat-rapat kita selama ini, eh!?
 
”Halaaaah, kalian ini. Bisanya cuma ribbbbbuuuut aja.” Pak Mergy datang sambil menenteng tas kerjanya. ”Wis toh. Liburan uwis bbbar.”  wajahnya tampak sumeringah. ”Hayo kerja. Waktunya kerja lagi.”
 
Bunyi ’jeklek’ terdengar ketika Pak Mergy memutar kunci ruang kerjanya. Dipegangnya gagang pintu. Tapi tidak langsung didorong. Pak Mergy menggerak-gerakkan daun telinganya. ”Kalian masih disitu?” Katanya.
 
Orang-orang di kubikal masih bekerumun di tempatnya. Tak seorang pun beranjak. Meski sekarang Pak Mergy sudah membalikkan badannya ke arah mereka.
 
”Ada apa ini?” katanya.
Dengan malu-malu Fiancy memberanikan diri. ”Anu Pak... emmmh...” kedua tangannya melilit-lilit.
 
”Kamu ini ngomong apa?” Pak Mergy melotot.
”B-Bapak tahu darimana kalau Natin ditawari jadi Managing Director?” akhirnya...
 
Hlo!? Kok kalian malah tanya begitu?” Gantian Pak Mergy yang terserang sawan. Sekujur tubuhnya terguncang. ”Lha bukannya kalian sendiri yang kasih tahu saya kalau si Natin itu ditawari Pak Presiden Direktur untuk jadi Managing Director?!”
 
Semua orang di kubikal meringis. Nggak ada yang berani menatap wajah Pak Mergy.
”Kalian ini gimana sih!” Pak Mergy makin histeris. ”Kok ngasih informasi yang salah sama atasan gitu toh....”
 
Semua orang di kubikal ingin minta maaf. Tapi tak ada yang berani mengatakannya.
”Haddduuuuh..., haddduh.” Pak Mergy memukul-mukul kepalanya sendiri. ”Mau saya simpan dimana muka saya ini, hadduh.”
 
Orang-orang semakin merinding.
”Maaaalu saya sama Pak Presiden Direktur, hadddduoh. Masak Manager kok nggak bisa mbedain antara gossip sama fakta. Haddddduuuuuuoh....hohohooo.....”
 
Hooooooh……. Orang-orang langsung merasa lemas…..
 
Tidak seorang pun menyangka jika kecerobohan mereka mengambil kesimpulan telah mengubah sebuah fakta menjadi gossip yang berbahaya.
 
Tiba-tiba saja semua orang di kubikal menyadari bahwa sebuah informasi tidak bisa ditelan mentah-mentah begitu saja. Harus diteliti dulu kebenarannya sebelum di blow-up hingga menjadi sebuah kehebohan.  Ternyata. Tidak semua hal yang kita dengar di kantor, benar-benar benar; seperti adanya bunyi yang kita dengar.
  
Catatan Kaki:
Kantor adalah pabrik penghasil rumor yang paling besar. Maka, belajarlah memilah setiap informasi yang Anda dengar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar