Senin, 30 Juli 2012

Natin Memulai Prestasi Tinggi Dari Rumah

Kusut sekali wajahnya.
Padahal, biasanya jam segini dia sudah berdandan rapi. Biasa, kan. Sudah jadi ritual setiap pagi. Begitu tiba di kantor, cewek-cewek itu langsung menyerbu toilet. Cuci muka. Nyisir-nyisir rambut. Pupuran. Sedikit oles-oles lipstick. Rapi-rapikan pakaian. Kemudian mematut-matut diri di kaca. Makanya jadi rapi. Anggun. Dan cantik-cantik.
 
Bukan hanya mereka sendiri yang merasa nyaman dengan semua keindahan disaat bekerja itu. Orang lain juga jadi enak melihatnya. Pastinya kan kita lebih suka berada dalam satu ruangan dengan orang-orang yang berpenampilan menarik daripada bersama orang yang penampilannya amburadul.
 
Di kantor itu bukan harus keren, kok. Yang penting rapi. Udah cukup.
Lagian juga. Kalau penampilan kita baik, kan orang lain juga menghargai kita lebih baik. Emang sih. Kita nggak membeda-bedakan orang hanya dari penampilannya. Tapi, emang udah lumrah dong kalau lebih nyaman bergaul dengan orang yang berpenampilan baik.
 
Makanya. Rada heran juga kalau ada satu orang aja yang terlihat kusut di kubikal. Terlihat menyolok dimata. Menyolok karena beda dengan orang lain. Beda yang nggak enak gitu deh. Mata ini jadi kurang asyik aja kalau ngeliat orang yang kayak gitu. Juga menyolok karena biasanya nggak gitu.
 
“Lagi M, ya Mbak….?” Sapa Aiti. Tetap ramah. Namun jelas sekali kalau dia ingin memberi perhatian kepadanya.
 
Orang yang dipanggil Mbak itu cuma tersenyum sekilas. Senyum yang dipaksakan sih kayaknya. Lalu berkata. “Bukan gara-gara itu kaleee..,” katanya. Nada suaranya terasa hambar sekali.
 
“Ya udah, kita ke toilet dulu yuk…” balas Aiti. Nggak terlalu memperdulikan jika tebakannya meleset jauh. “Biar Mbak kelihatan cantik lagi…” tambahnya.
 
“Emangnya muka gue kelihatan jelek ya Ti…?” Mbak Asterix menampakkan wajah yang gusar.
 
“Eh, emmh… nggak kok Mbak, bukan gitu…” Aiti jadi gugup. “Biar semua orang seneng ngeliat Mbak yang cantik…” Dia berusaha untuk menutupi kesalahannya.
 
“Jadi, orang-orang pada sebel ngeliat gue, Ti?”  Mbak Asterix menimpali.
 
Aiti semakin terpojok dalam keadaan serba salah. Apapun yang dikatakannya diterima secara negatif oleh Mbak Asterix. Hal itu membuat Aiti semakin yakin jika temannya itu sedang M. Jadi sensitif banget.
 
Tapi. Biasanya nggak gitu-gitu amat kok.
“Mbak yakin nggak lagi M?” desak Aiti. Dia jadi penasaran. Kenapa sih orang ini jadi kayak gini.
 
“Enggggak Aiti…..” balasnya. “Elo itu kenapa sih. Mau tau urusan orang aja.” tambahnya. Kali ini dengan nada yang terasa tajam menghunjam.
 
“Oh, sory kalo gitu,” Aiti mengangkat tangannya. Orang ini sudah keterlaluan. “Gue nggak ada urusan apapun sama elo…” katanya. Nggak ada gunanya kan ngomong sama orang kayak gitu. Biarpun buat kebaikan dirinya sendiri. Sudahlah. Suka-suka dia aja.
 
Aiti langsung menyingkir. Nggak enak berurusan dengan orang sengak. Udah mah ngeliat mukanya nggak ada ramah-ramahnya. Eh, kelakukannya juga nyebelin banget. Sudah untung orang lain mau merhatiin.
 
“Ti…” Mbak Asterix memanggil lirih ketika Aiti sudah pergi beberapa langkah.
Aiti nggak lagi berselera untuk melayaninya. Biarin aja. ‘Urus deh urusan elo sendiri. Elo nggak butuh gue!’ begitu bisik hatinya. Dia terus berjalan menuju ke kubikalnya. Lalu menclok di kursinya.
 
“Ti, maafin gue Ti…” Nggak disangka. Mbak Asterix mendatangi kubikalnya. “Gue nggak bermaksud gitu sama elo…” wajahnya menyiratkan penyesalan.
 
Aiti menatap ke arahnya. Tanpa satu patah katapun yang terucap dari bibirnya. Setidaknya untuk beberapa saat.
 
“Nggak apa-apa Mbak, gue ngerti kok…” jawab Aiti kemudian. Dengan datangnya ke kubikalnya pun sudah kelihatan kalau Mbak Asterix sungguh-sungguh meminta maaf. “Ya udah, kalau gitu gue mau nerusin kerjaan dulu ya Mbak…” sambungnya. Kelihatannya Aiti hati-hati sekali biar nggak sampai dituduh mencampuri urusan orang lain.
 
“Sebenarnya gue lagi kesel Ti,” kata Mbak Asterix. Padahal. Nggak ada yang menanyakan soal apapun lagi kepadanya.
 
Aiti kembali menoleh. “Sama?”
“Laki gue…” jawabnya. Pendek. Namun. Raut wajahnya menerawang jauh.
 
Aiti tertegun.
Soal itu. Dia nggak punya pengalaman sama sekali. Maklum. Punya pacar aja belum. Gimana mau nasihatin teman yang punya masalah dengan suaminya. “Mbak benar,” katanya. “Itu bukan urusan yang perlu gue tahu,” lanjutnya.
 
“Nggak apa-apa Ti. Gue malah seneng elo udah merhatiin gue,” jawab Mbak Asterix. “Gue sering banget pengen berenti kerja tau nggak sih.”
 
“Lho. Apa hubungannya dengan kerjaan Mbak?” tanya Jeance. Rupanya sedari tadi dia merhatiin juga. Aiti mengamini.
“Elo belum pada ngerti Jean,” Mbak Asterix menoleh kearahnya. “Kalau perempuan seperti kita udah menikah itu ribet banget urusannya. Beda sama laki-laki.”
 
“Bedanya?” Selidik Aiti.
“Banyak banget deh….” Jawabnya.
“Lho, kalau Mbak nggak ngasih tahu ya mana kita tahu dong Mbak?” timpal Jeanice. Mereka jadi penasaran.
 
“Intinya. Elo kalo kawin mesti pilih-pilih cowok yang bener-bener bisa ngerti elo…” jawab Mbak Asterix. “Bukan cuman pinter ngomong cinta doang,” tambahnya.
 
“Jadi mesti apa lagi dong Mbak?” tanya Jeanice.
“Elo pade nih ya yang gue tahu pada punya potensi buat ngembangin karir terus,” jawab Mbak Asterix. “Kalau laki elo nggak ngerti passion elo soal karir elo sendiri, ntar elo bakal dapat rintangan yang besar dari laki elo….” Lanjutnya. “Apa lagi kalau laki elo ngerasa sudah bisa memberikan nafkah yang cukup sama elo. Egonya bakal menguasai elo…” dia menambahkan.
 
“Itu betul,” tiba-tiba saja Mrs. X sudah berdiri disekitar situ. Semua orang menoleh kearahnya. “Laki-laki emang suka merasa kalau dirinya yang paling berjasa. Padahal. Nyari nafkah kan sudah menjadi kewajiban mereka.” Tambahnya.
 
“Kalau gue sih, nggak apa-apa juga kali ya dapetin suami kayak gitu. Kan emang sudah semestinya antara suami dan istri itu ada pembagian tugas,” kata Jeanice. “Masing-masing kan ada hak dan kewajibannya.”
 
”Kecuali kalau elo gadis-gadis cantik ini emang nantinya mau jadi ibu rumah tangga aja. Ngurusin anak-anak di rumah. Menanti suami pulang kerja. Kayak prinsipnya Jeanice itu, ” Jawab Mbak Asterix.
 
Tanpa terasa. Semua gadis di kubikal sudah berkerumun disitu. Satu persatu datang seperti orang yang mau ikutan acara seminar pra-nikah gitu. Pembicaranya juga nggak sembarangan. Mbak Asterix dan Mrs. X yang sudah berpengalaman menjadi istri dan working ladies selama belasan tahun. Makanya. Seminar yang satu ini bukan cuma teori doang. Selain pembicaranya punya banyak pengalaman. Mereka juga nggak jaim.
 
Kalau ada kesempatan untuk bikin spanduk, pasti orang-orang setuju kalau dalam spanduk itu ditulisin kayak gini:
Selamat Datang Peserta Seminar
“WORKING LADIES IN THE MIDST OF FAMILY & CAREER LIFE”
 
Cuman kan emang ini acaranya spontan aja. Lagian kan cuman ngobrol informal gitu deh. Jadinya nggak perlu asesoris macam-macam gitu.
 
Ada beberapa poin penting yang mereka bicarakan disana. Misalnya. Soal ego kaum pria, yang merasa berhak menuntut istrinya tinggal di rumah aja. Nggak usah kerja. Disuruh ngurusi anak-anak. Anter jemput mereka sekolah dan yang semacamnya itu. Soal ini diskusinya seru juga. Biasalah ada yang setuju dan tidak.
 
Soalnya, emang ternyata ada juga cewek yang emang nggak mau muluk-muluk. Pengennya punya suami yang sanggup menyediakan nafkah yang cukup untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Mereka nggak keberatan berada di rumah. Sementara suaminya kerja keras di kantor untuk mendapatkan uang yang banyak.
 
Nah buat cewek yang seperti itu cocok banget kalo nyari suami yang karirnya bagus supaya penghasilannya juga cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Misalnya. Kebutuhan untuk membiayai sekolah bagus yang tentunya nggak murah dong. Kebutuhan untuk rekreasi minimal sebulan sekali. Juga kebutuhan untuk membeli make up. Tas terbaru. Jam tangan lucu. Kaca mata gaya. Juga sepatu-sepatu cantik yang model dan warnanya bikin cewek-cewek nggak bisa tidur, kan?
 
Kalau nggak gitu. Ntar pasti akan timbul masalah terus-terusan. Udah mah istrinya dilarang kerja sama suami. Tapi penghasilan suaminya tidak bisa memenuhi kebutuhan fisik dan emosi istrinya. Ntar bisa nyesek juga.
 
Diskusi itu jadi seru karena diantara cewek-cewek modis kubikal itu banyak juga yang kepengen menjadi profesional terus. Buat mereka. Uang yang dihasilkan oleh suaminya adalah aset milik berdua. Sedangkan yang mereka hasilkan sendiri ya menjadi uang sendiri. Hihi… dasar Ibu-ibu….
 
Sebenarnya ini bukan soal uang. Tapi soal aktualisasi diri. Ngapain kita susah-susah sekolah kalau akhirnya cuman jadi penunggu rumah. Iya kan? Sayang juga kalau karir yang udah dirintis selama bertahun-tahun ini harus berhenti hanya gara-gara menikah dan beranak. Udah nggak jamannya lagi istri tinggal di rumah, kaleee….
 
Nah. Buat cewek-cewek yang punya prinsip begitu penting banget mencari suami yang bener-bener punya komitmen memberi keleluasaan. Jangan mentang-mentang mereka yang menjadi kepala keluarga. Terus mereka yang menentukan semuanya. Perempuan juga butuh kesempatan untuk mengaktualisasikan kemampuan diri mereka sendiri.
 
“Jangan sampai kayak gue,” begitu kata Mbak Asterix. “Laki gue sering sekali sewot kalau gue pulang telat.” Tambahnya. “Padahal dia juga kan udah tahu kalau jalanan di Jakarta macet berat.” Wajahnya terlihat kesal ketika mengatakan hal itu.
 
Gadis-gadis itu mendengarkan dengan seksama. Sambil sesekali mengerutkan dahi. Rasanya nggak fair ya kalau suami sampai berlaku seperti itu sama istri.
 
“Padahal, kalau gue pulang dari kantor jam 5 juga tetep aja sampai di rumah paling cepatnya ya jam 7 malam.” Lanjut Mbak Asterix
 
“Kalau gue mungkin agak beda lagi ya…” sambung Mrs. X. “Laki gue sih alesannya gue jadi kurang perhatian sama keluarga. Padahal perasaan sih semua keperluan anak-anak sudah gue siapin sejak subuh.”
 
“Bukannya dirumah elo ada baby sitter, X?” tanya Mbak Asterix.
“Ada sih Asterix,” jawab Mrs. X. “Tapi gue tetep usahakan kalau bekal anak-anak setiap pagi gue sendiri yang nyiapin. Meski gue mesti bangun jam 4 pagi.” Paparnya.
 
“Laki elo tahu kalau elo udah sampai kayak gitu?” tanya Mbak Asterix lagi.
“Tahu dong,” jawab Mrs. X. “Tapi ya tetep aja sih, dia suka uring-uringan juga.”
 
“Nggak adil banget sih!” celetuk Opri.
“Makanya, Pri. Elo mesti bener-bener ngerti apa yang elo inginkan dalam hidup elo. Itu dulu deh…” balas Mbak Asterix.
 
“Setelah itu, elo mesti bener-bener pilih cowok yang bakal sejalan dengan apa yang elo inginkan dalam hidup elo itu.” Mrs. X menimpali.
 
“Kalau nggak….” Mbak Asterix berhenti berkata. Lalu melirik kearah Mrs. X.
Mrs. X yang mengerti isyarat Mbak Asterix langsung menyambungnya. “Elo bisa berantem setiap hari….”  
 
“Wah, kalau gue sih nggak bakal sabar ngadepin cowok kayak gitu,” balas Opri. “Kenapa nggak Mbak geret aja kesini Mbak?” katanya. “Biar dia tahu apa kerjaan Mbak disini kayak apa.”
 
“Laki gue emang nggak sampai gitu-gitu amat sih Pri…” jawab Mbak Asterix. “Cuman ya kadang-kadang ngeselin juga sih.” Tambahnya. “Kalau ada masalah apa-apa. Selalu dikait-kaitkan dengan kerjaan guelah. Terlalu sibuklah. Inilah. Itulah.”
 
“Setiap cowok mungkin beda cara mengekspresikannnya kali ya…” timpal Mrs. X. “Tapi kalau gue coba pahami ternyata emang ada kemiripan penyebabnya.” Katanya.
 
Gadis-gadis itu semakin penasaran. Kepengen tahu penyebab yang sebenarnya. Supaya kelak kalau mereka sudah menikah, jangan sampai dibatasi oleh semua tetek bengek itu.
 
Mbak Asterix dan Mrs. X melanjutkan ceramahnya. Keren banget. Udah kayak seminar beneran. Menurut penjelasan mereka, meskipun para suami punya cara sendiri-sendiri dalam mengekspresikan ketidaknyamanan hatinya sama istri mereka yang bekerja. Tapi inti masalahnya ternyata sama.
 
Pertama, para suami itu sering cemburu. Kalau istrinya yang cantik terlalu sering ketemuan sama cowok-cowok teman sekantornya. Atau terlalu dekat dengan bossnya. Makin cantik elo. Makin besar api cemburu laki elo. Makanya, suami elo mungkin akan makin protektif sama elo. Mungkin juga sampai nyuruh elo berhenti bekerja.
 
Kedua, para suami itu sering takut tersaingi. Kalau karir elo lebih baik dari laki elo. Pastinya pendapatan elo juga lebih tinggi dari laki elo, biasanya ego kaum lelaki suka mengusik hati mereka. Kalau kata Mbak Asterix sih, laki-laki itu malah takut kalau penghasilan istrinya lebih besar dari penghasilannya. Hal itu bisa mengurangi kemampuan dia untuk memegang kendali sebagai kepala keluarga.
 
Ketiga. Para suami itu sering sayang banget sama istrinya. Kasihan kalau harus melihat istrinya bangun subuh-subuh. Langsung pak pik pek nyiapain kebutuhan semua keluarga hari itu. Terus mandi. Pergi ke kantor. Para suami juga kan tahu kalau urusan kantor itu melelahkannya minta ampun. Laki elo nggak tega lihat elo bergelantungan di bis kota yang penuh sesak setiap hari hanya untuk mendapatkan beberapa juta rupiah.
 
Entah apa lagi yang dibahas di ruang seminar dadakan itu. Yang jelas. Ketika mereka sedang seru-serunya berdiskusi. Tanya jawab. Dan study kasus itu. Pengeras suara kantor tiba-tiba di bunyi. “Panggilan untuk Mbak Sekris, ditunggu di meja receptionist karena pesanan makanan sudah datang…..”
 
“Hah? Siapa yang pesan makanan?” Sekris protes. Dia nggak merasa telah memesan sesuatu. Kalau buat rapat resmi sih emang tugas dia untuk memesan makanan. Tapi. Ini kan rapat nggak resmi. Mana ada budget kantor untuk hal yang seperti ini. “Salah orang kali tuch?” gerutunya.
 
Pengeras suara berbunyi lagi. Sekali lagi resepsionit kantor memanggil Sekris. Apa boleh buat. Nggak ada pilihan lain buat Sekris selain meninggalkan ruang seminar itu. Lalu beranjak pergi ke lobi untuk meluruskan masalah ini.
 
“Saya nggak pesan apapun Mas,” begitu Sekris bilang ketika ketemu dengan petugas delivery order.
 
“Saya hanya menjalankan tugas, Mbak…” katanya.
“Coba lihat bukti ordernya?” Sekris jadi kasihan juga sama petugas itu. Ternyata benar. Pesanan itu atas nama dirinya. Dan sudah dibayar pula. “Siapa yang bayar?” begitu bisik hatinya. Tapi karena dalam lembar order itu jelas sekali tertera namanya. Dan toko kue itu sudah menjadi langganan selama ini. Makanya dia memutuskan untuk mengambilnya.
 
‘Urusannya bisa diselesaikan nanti,’ begitu pikirnya. Daripada ketinggalan seminar terlalu lama. Toh pesanan itu sudah ada yang bayar juga, kan?
 
Sekris bergegas kembali ke kubikal tempat seminar berlangsung.
 
“Gile. Baik banget elo, Kris…” begitu sambutan teman-temannya.
“Ya udah, kita puterin aja deh makananya,” jawabnya. Seraya menyodorkan snack box itu dan memintanya teman-teman menggesernya untuk orang lain.
 
Sekarang semua orang sudah memegang snack boxnya masing-masing. Lumayan. Seminar gratis. Dan makanan gratis pula. Saatnya bagi mereka untuk menikmati makanan itu sambil mendengarkan ceramah dari Mrx X dan Mbak Asterix.
 
Ketika mereka membuka snack box itu. Ada 3 jenis kue enak-enak. Dan air mineral dalam gelas. Selain itu ada selembar tissue yang dilipat segi tiga. Namun, tampaknya itu bukanlah tissue biasa.
 
Ada logo perusahaan tercetak di tissue itu. Dan dibawah logo itu ada tulisan ini:
 
Selamat Datang Peserta Seminar
“WORKING LADIES IN THE MIDST OF FAMILY & CAREER LIFE”
 
Haahhh?
Apakah managemen tahu kita sedang sharing dadakan soal itu?
Nggak ada yang bisa menjelaskannya. Soalnya. Pak Presiden Direktur sedang ada rapat di luar. Bersama semua direktur. Begitu pula Natin yang diminta oleh Pak Presiden Direktur untuk melayani semua kebutuhan selama meeting.
 
Mereka meraih kertas tissue itu.
Rupanya. Kejutan belum berakhir sampai disitu.
Ketika mereka membuka lipatan kertas tissue itu, terlihat tulisan lain. Bunyinya begini:
 
PRESTASI TINGGI DIMULAI DARI RUMAH
DAN BERAKHIR JUGA DI RUMAH
 
Kalau bukan Natin. Rasanya nggak ada orang yang punya inisiatif seperti itu. Sekarang orang-orang di kubikal tahu siapa yang telah memesan snack box itu. Meskipun Natin tidak berada di kantor. Dan tidak bisa menulis di whiteboard kesayangannya. Tapi dia tetap memperhatikan mereka dari jauh.
 
Melalui diskusi soal keluarga dan karir itu. Mereka sekarang menjadi lebih sadar. Bahwa prestasi tinggi kita di kantor tidak bisa dilepasakan dari kondisi kita di rumah. Seperti yang Natin katakan. Semuanya berawal dari rumah.
 
Tapi. Seperti yang juga Natin ingatkan. Bahwa keberhasilan itu mesti juga berakhir di rumah. Dengan pesannya itu Natin hendak mengingatkan bahwa pusaran kehidupan kerja kita sebenarnya ada di rumah. Bukan di kantor. Rumah adalah pusat kehidupan kita. Maka jika kita ingin berprestasi tinggi di kantor. Kita mesti memiliki kehidupan yang baik terlebih dahulu di rumah.
 
Sebaliknya. Semua pencapaian kita di kantor. Mesti sepenuhnya dibawa kembali ke rumah. Mereka sadar. Betapa banyak orang yang sukses di kantor. Namun amburadul di rumah. Betapa banyak pemimpin yang baik di kantor. Tetapi menjadi kepala keluarga yang buruk di rumah.
 
“Nggak bisa begitu dong Ma. Mama yang harus pulang duluan. Papa kan nggak mungkin meninggalkan urusan kantor…..” Suara ribut itu membuyarkan perhatian peserta seminar. Maklum. Ruang seminar itu terbuka dan jadi tempat lalu lalang orang-orang.
 
“Jangan salahkan Papa dong, Ma…” katanya lagi. “Papa kan sudah bilang kalau Mama sebaiknya berhenti bekerja.
 
Hening sejenak.
“Papa nggak bisa, Ma… sebentar lagi ada rapat dengan bosss….” Tak lama kemudian pembicaraan itu terdengar lagi.
 
“Ma…hallo. Hallo Ma… jangan matikan dulu teleponnya. Ma…Iiiih!!!!”
 
Semua mata memandang kearah datangnya suara itu.
Merasa menjadi pusat perhatian. Pak Mergy membalas tatapan mereka dengan pelototan. Lalu katanya.”Kalian ya para perempuan. Jangan mentang-mentang penghasilan kalian lebih tinggi dari suami kalian. Boleh menyuruh suaminya pulang kantor seenaknya aja…”
 
Hooooooh……. Orang-orang langsung merasa lemas…..
 
Tiba-tiba saja semua orang di kubikal menyadari bahwa semua yang kita perjuangkan dalam hidup ini adalah untuk orang-orang yang kita cintai di rumah. Setiap pagi kita pergi dari rumah itu untuk siapa? Setiap pekerjaan yang kita selesaikan itu buat siapa? Bukan buat pelanggan yang kita layani. Bukan buat pemilik perusahaan yang kita bantu biar tambah kaya. Bukan juga buat atasan yang kita turuti aja apa maunya. Tapi. Buat orang-orang yang setiap hari melepas kepergian kita dari rumah. Dan setiap hari pula menantikan kita untuk pulang. Kembali ke rumah. Karena seperti Natin katakan. Bahwa prestasi tinggi itu, berawal dari rumah. Dan berakhir. Juga di rumah.
 
Catatan Kaki:
Pusat kehidupan kita itu adalah rumah. Bukannya kantor. Makanya setiap prestasi yang kita bangun di kantor mesti berawal dari rumah. Dan hasilnya, juga dibawa kembai ke rumah.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar