Selasa, 31 Juli 2012

Natin Meresapi Nilai Luhur Perusahaan

Khoek. Puh!
“Ini kopi apa-an sih?!” Teriak Opri. “Elo yang bener dong kalau bikin kopi buat gue.” Matanya melotot kearah Jeanice.
 
Ini adalah hari melayani. Orang yang kebagian bertugas untuk melayani, harus menyediakan minuman untuk temannya yang sedang kebagian giliran untuk dilayani. Jeanice. Kebagian melayani Opri.
 
“Elo nggak tahu kalau gula itu yang mana?” hardiknya lagi.
Jeanice hanya bisa mengkerut. Semua orang di kubikal merinding mendengarnya. Tapi mereka juga nggak tega membiarkan kebaikan Jeanice yang dibalas oleh hardikan Opri. Bagaimana pun juga, Jeanice itu bukan pembantu. Dia hanya menjalankan perannya untuk belajar melayani.
 
“Udahlah Pri, nggak usah marah-marah gitu,” Aiti mencoba menengahi. “Nih, elo ambil aja minuman punya gue,” katanya. Sembari menyodorkan cangkir hangatnya.
 
Opri menolak. Tapi. Akhirnya dia mau juga menerimanya. Meski dengan penerimaan itu dia harus menghentikan kekesalannya kepada Jeanice. “Gue juga kan kalau bikinin minuman buat dia nggak sembarangan.” Begitulah gerutuan terakhir yang keluar dari bibir tebal sensualnya.
 
Semua orang diam saja. Yang penting setelah itu nggak ada lagi omelan tambahan. Sehingga semua orang. Sekarang sudah bisa kembali ke kubikal masing-masing. Untuk menjalankan pekerjaannya dengan tenang.
 
Mereka baru menikmati keheningan selama lima belas detik. Ketika bunyi ‘Khoek. Puh!’ itu terdengar lagi.
 
“Gila kali ya orang-orang ini.” Teriak Opri. “Ti. Siapa yang bikin minuman yang elo kasih ke gue?”
 
“Fiancy….” Jawab Aiti. “Emangnya kenapa Pri?” dia keheranan.
Orang yang disebut namanya sembunyi dikolong meja kubikalnya.
 
“Nggak si Fiancy. Nggak si Jeanice. Sama-sama nggak ngerti gula itu kayak apa. Dasar anak mama semua.” Makinya. “Gue mending bikin minuman sendiri aja!” katanya sambil beranjak pergi.
 
“Eh, eh, eh… jangan gitu dong Pri,” Sekris berusaha mencegahnya. “Kalau elo lakukan itu maka elo bisa ngerusak kebiasaan kita yang sudah susah payah diajarkan Natin.” Katanya.
 
Memang. Dua kali dalam seminggu, mereka punya hari meyalani di kubikal. Setiap orang mendapatkan giliran melayani. Dan dilayani. Tapi. Sebelumnya nggak pernah kejadian heboh seperti ini. Gara-gara Jeanice dan Fiancy nggak bener bikin minuman untuk temannya.
 
“Elo nggak pakai gula, Fi?” tanya Aiti. Untung saja dia belum meminumnya.
“Pake kok….” Jawab Fiancy dengan wajah tegang.
“Gue juga tadi udah pake gula kok….” Jeanice nggak mau ketinggalan. Bagaimana pun juga dia nggak mau disalahkan.
 
“Gue tahu elo pade pake gula,” bentak Opri. “Tapi elo aduk apa nggak tuch gula?”
 
“Ng-Nggak… he…” Jeanice dan Fiancy nyengir hampir bersamaan.
 
“Yeeee, elo!” sekarang Aiti juga ikut protes juga. “Pake gula sekilo juga kalau nggak diaduk ya nggak ada artinya dong…” tambahnya.
 
“Siape lagi yang pake gula tapi nggak diaduk selain dua anak mami ini?” Opri menatap semua orang yang hari itu bertugas untuk melayani.
 
Diluar dugaan. Semua orang yang tadi pagi membuatkan minuman untuk temannya pada ngacung. Itu artinya. Semua orang pada nggak ngaduk gulanya.
 
Karuan aja semua orang yang mendapat giliran dilayani pada sewot. Untung baru Opri sendiri yang minum. Coba kalau semua orang udah pada minum. Yang marah bisa setengah dari populasi yang ada. Siapa yang bisa ngelerai kalau begitu caranya?
 
Maksud elo pade apa?
Itulah pertanyaan yang meluncur dari mulut orang-orang yang dilayani.
 
Bukannya menjawab. Orang-orang yang melayani malah cuman senyum-seyum aja. Setelah diprotes sekali lagi. Barulah mereka bicara. “Menu hari ini….” Katanya serempak.
 
Sekarang orang-orang pada tahu kalau itu semua ulah Natin.
 
“Waah… udah kelewatan nih si Natin,” cetus Opri. “Mesti gue kasih pelajaran dia nih,” Dia langsung menuju ke pantry.
 
“Eh Pri, sabar Pri…” semua orang berteriak. Namun sia-sia saja. Cewek macho itu kalau udah marah suka susah ngeremnya. Akhirnya semua orang pada berlarian mengejarnya. Takut kalau-kalau kemarahan Opri berlebihan.
Natin!” begitu teriak Opri ketika tiba di pantry. “Sini lu!” katanya.
Percuma saja. Nggak ada siapa-siapa disana. Mungkin Natin sudah pergi menyelamatkan diri. Orang-orang merasa lega.
 
“Udahlah Pri. Yok, kita kerja lagi,” bujuk Aiti.
Opri tak bergeming. Dia tetap berdiri mematung. Tanpa sepatah katapun yang terucap dari mulutnya. Matanya lurus menatap ke depan. Membuat orang-orang pada penasaran. Opri sedang melihat apa?
 
Ternyata. Opri terpaku oleh tulisan yang ada di whiteboard pantry. Begitu juga dengan orang-orang yang tadi sudah pada ke pantry. Sama terpakunya dengan Opri. Seingat mereka. Tulisan itu tadi belum ada.
 
Tadi. Mereka hanya bertemu dengan Natin. Belum ada tulisan apa-apa disana.
Natin hanya berpesan agar untuk hari itu. Tolong jangan diaduk gulanya. Mereka menurut saja. Karena percaya bahwa Natin melakukan itu untuk satu alasan.
 
Dan sekarang. Mereka tahu alasan itu.
Di whiteboard itu dituliskan menu hari ini:
 
LEBURKAHLAH NILAI-NILAI PRIBADIMU
AGAR MENYATU DENGAN  NILAI-NILAI PERUSAHAAN
 
Sekarang mereka mengerti. Seperti gula yang tidak diaduk dalam secangkir minuman. Nilai-nilai pribadi kita yang tidak dileburkan dengan nilai-nilai perusahaan akan terasa tidak enak.
 
Faktanya. Setiap orang mempunyai system nilai didalam dirinya masing-masing. Sistem nilai itulah yang kemudian menjelma menjadi karakter pribadi. Misalnya. Orang yang percaya bahwa keramahan itu adalah penting. Maka dia akan tampil menjadi pribadi yang ramah.
 
Orang yang percaya bahwa senyum itu merupakan gambaran pribadi yang menarik. Akan berusaha untuk selalu tampil dengan senyum.
 
Orang yang meyakini bahwa kedisiplinan itu tidak bisa ditawar-tawar lagi, akan bersikap tegas dalam segala hal di keseharian kerjanya.
 
Sistem nilai yang sudah mengkristal didalam diri kita. Akan mewujud dalam karakter. Perilaku. Dan tingkah polah kita.
 
Dan karena setiap pribadi memiliki system nilainya masing-masing. Maka kita menemukan bahwa setiap orang memiliki karakternya yang berbeda-beda. Itulah yang kemudian kita sebut sebagai ‘keunikan’.
 
Di dinding kubikal itu tertempel poster-poster berisi nilai-nilai luhur perusahaan. Ada Sembilan nilai luhur. Saking banyaknya. Sampai-sampai tak seorang pun yang bisa menghafalnya lebih dari tiga hari. Sudah hafal sih waktu itu. Tapi sekarang sudah lupa lagih.
 
Lupa karena nilai-nilai itu belum benar-benar mereka mengerti. Apalagi dipahami. Lebih jarang lagi dilaksanakan dalam kehidupan kerja sehari-hari.
 
“Yang penting kerjaan gue beres. Omong kosong deh nilai-nilai luhur itu!” Ada yang sampai ngomong begitu juga loh. Tapi demi menjaga privasi. Nggak usah disebutin namanya disini.
 
Kata Natin. Nilai-nilai luhur perusahaan itu tidak ada yang buruk. Semuanya bagus. Misalnya. Nilai nomor satu. “Menjunjung tinggi kejujuran dalam berbisnis”.
 
Coba itu. Betapa bagusnya nilai itu, kan? Perusahaan ingin agar karyawannya menjunjung tinggi kejujuran saat bekerja. Kalau semua orang di kubikal bersedia meleburkan diri dengan nilai luhur nomor satu itu. Woooh, betapa baiknya hasil kerja mereka. Nggak ada tuch yang minta amplop dibawah meja.
 
Nilai luhur nomor dua. “Menghargai sesama.” Tuch. Kurang bagus apa, coba? Masih ada kan orang yang suka merendahkan temannya. Nggak sedikit juga atasan yang sok kuasa. Sama sekali nggak mau menghargai bawahannya. Mentang-mentang kedudukan mereka lebih tinggi. Sok mulia sendiri.
 
Natin bilang. Leburkan dirimu kedalam nilai-nilai luhur perusahaan. Seperti gula melebur didalam air minum kesukaanmu.
 
Entah siapa yang memulai. Semua orang sudah tidak berada di pantry lagi. Sekarang mereka sudah kembali ke kubilal. Tapi tidak duduk di kursi.
 
Semuanya pada berjalan menelusuri dinding kantor. Lalu berhenti di setiap poster yang memajang nilai luhur perusahaan.
 
Kali ini mereka membacanya dengan hikmad sekali. Sambil bertanya-tanya; apakah saya sudah menjalankan nilai luhur itu. Satu demi satu poster sudah mereka lalui. Dan satu demi satu nilai luhur melebur didalam diri.
 
Sekarang. Sampailah mereka di poster terakhir. Nilai luhur nomor sembilan. “Memupuk rasa peduli.” Ternyata. Apa yang mereka lakukan selama ini. Untuk secara bergantian saling melayani. Merupakan salah satu wujud dari pemahaman terhadap nilai luhur itu.
 
Natin telah mengajak mereka untuk melakukan tindakan kecil. Yang nyata. Dalam mencerminkan pemahaman mereka. Atas nilai-nilai luhur perusahaan.
 
Tanpa terasa. Nilai-nilai luhur itu sekarang sudah tertanam lebih dalam dihati mereka. Nilai yang selama ini mereka anggap mengawang-awang. Sekedar hiasan dinding kantor. Yang tidak memiliki arti sama sekali. Selain jargon belaka.
 
Sekarang. Mereka melihat bahwa semuanya bisa diimplementasikan. Melalui tindakan-tindakan paling sederhana. Dalam kehidupan kerja mereka.
 
“Kalian lagi pada kesambet ya?” Pak Mergy ujuk-ujuk datang entah dari mana. “Pada bengong ngadep tembok segala.” Lanjutnya. “Emangnya ditembok itu ada foto saya?”
 
Hooooooh……. Orang-orang langsung merasa lemas…..
 
Tiba-tiba saja semua orang di kubikal menyadari bahwa nilai-nilai luhur perusahaan nggak akan pernah membumi. Selama kitanya sendiri nggak mau menerapkannya dalam kegiatan kerja sehari-hari. Bukan nilai-nilai luhur itu yang tidak kejangkau. Kitalah yang tak mau menjangkaunya. Tidak peduli sebaik apapun nilai luhur itu. Jika kita tidak mau memperdulikannya. Maka tidak akan ada manfaatnya sama sekali. Nilai-nilai luhur itu bukanlah sekedar omong besar top management. Melainkan cita-cita perusahaan. Untuk menciptakan iklim kerja yang jauh lebih baik. Lebih bermartabat. Dan lebih menyenangkan. Sehingga kita. Tidak sekedar mendapatkan sejumlah uang. Melainkan juga bertumbuh. Menjadi pribadi. Yang memiliki nilai-nilai yang terpuji.
 
Catatan Kaki:
Seperti gula yang tidak diaduk. Nilai-nilai luhur perusahaan yang tidak diresapi, tidak akan pernah terasa kebaikan manfaatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar