Selasa, 31 Juli 2012

Natin Sekolah Di Kantor

Sudah menjadi panggilan hati.
Setiap pagi, orang-orang di kubikal mampir ke pantry. Bukan semata-mata untuk mengambil air minum. Tetapi untuk melihat ’menu hari ini’ yang disajikan oleh Natin. Tanpa mereka sadari. Sudah terbentuk sebuah kultur baru di seantero kubikal. Yaitu kultur untuk menerima pencerahan setiap pagi.
 
Sayangnya, menu hari ini yang disajikan oleh Natin terasa terlalu berat. Nggak mungkin bisa dilakukan oleh semua orang di kubikal. Makanya, rasanya kurang nendang. Bukan hanya satu dua orang yang menilainya begitu. Hampir semua orang di kubikal menilai jika menu Natin di whiteboard hari ini kurang membumi.
 
’Mungkin Natin sudah kehabisan ide,’ sebagian orang berpikir demikian. Ada juga yang mengira jika sekarang Natin sudah agak ng-boss. Belagu. Mentang-mentang dia dibutuhkan oleh banyak orang. Omongannya sudah mulai tidak terukur. Bagaimana pun juga, dia harus tahu diri. Seperti halnya orang lain yang juga mesti sadar posisinya masing-masing.
 
Diantara pendapat yang miring itu, masih banyak juga pendapat yang positif. ’Bagaimanapun juga Natin itu manusia biasa, jadi terima aja jika sesekali menyajikan menu yang kurang nendang.’
 
Ada juga yang tetap ngefans padanya. ”Siapa sih orang yang bisa memberikan semangat di kubikal ini selain Natin?” katanya. ”Nyadar nggak sih, kalau selama ini Natin sudah memberikan pengaruh baik pada diri kita dan kehidupan di seluruh kubikal?”
 
Biasalah. Pro dan kontra. Dimana pun selalu ada.
Jangankan soal Natin yang posisinya sekedar Office Boy. Orang-orang terkenal pun tidak selamanya benar. Tidak ada motivator yang nggak pernah sedih. Bo’ong dia kalau bilang nggak pernah ’down’. Tidak ada orang terhormat yang selamanya bersih. Semua hanya manusia biasa.
 
Aiti enggan ikutan dalam perdebatan.  Dia memilih menyingkir. Dia pergi ke pantry. Untuk menghabiskan secangkir kopi pahit sendirian disana. Selagi menyeruput sajian hangat itu, matanya tertuju pada secarik kertas yang terselip di balik lemari penyimpanan gelas-gelas kering. Di bagian kertas yang menyembul itu ada tulisan tangan berbunyi ”Belongs to Natin”.
 
”Gihiiile. Pake bahasa Inggis segala nih si Natin...” bisik dihatinya. ”Boleh juga nih Office Boy....” gumamnya sulit untuk dihentikan. Tapi dia juga merasa ragu, apa benar Natin bisa bahasa Inggris. Atau sekedar niru tulisan orang lain. Atau..., mungkin ya cuman itu doang yang dia bisa selain nyebut ’I Love You....”
 
Rasa penasaran mendorong Aiti untuk menarik kertas itu. Ternyata satu bundelan sekitar delapan halaman. Mata Aiti langsung terbelalak melihatnya. Mukanya melongo seperti orang bego. Tangan kanannya menutup mulut yang menganga tanpa ada sedikit pun kata.
 
Baru beberapa detik kemudian Aiti tersadar. Nggak disangka. Ternyata selama ini, Natin..... Dia berlari menuju ke kubikal. Disana orang-orang masih terkurung dalam perbedaan pendapat itu. Kata kubu yang satu, Natin sudah kehilangan wibawa. Kata-katanya mulai ngelantur. Ngawur. Nggak cocok lagi dengan dinamika orang-orang di kubikal.
 
Pihak yang lainnya membela Natin mati-matian. Mereka mengatakan jika Natin itu kemungkinan adalah seorang sufi. Atau orang bijak yang sedang menyamar. Atau orang berilmu tinggi yang sedang turun gunung. Makanya tidak semua ajaran dia bisa difahami.
 
”Sebaiknya kalian liat ini!” Teriakan Aiti menghentikan perdebatan itu. Dia menenteng kertas yang ditemukannya sambil tergopoh-gopoh.
 
Opri segera menyambar kertas itu dari tangannya. Yang lain tidak mau ketinggalan. Langsung mengerubuti Opri yang tidak sabar untuk mengetahui apa yang tertulis disitu. Siapa tahu kertas itu berisi dokumen rahasia yang membeberkan identitas Natin yang sebenarnya.
 
Tapi. Ketika membaca apa yang tertulis di halaman depan.
Mereka semakin terkejut. Bukan karena berhasil membongkar tabir yang selama ini menutupi identitas Natin yang sebenarnya. Melainkan karena di kertas yang bertuliskan ’Belongs to Natin’ itu ada sebuah logo yang tidak sembarangan.
 
Selain logo itu. Di bagian atas halaman depan dokumen itu ada sebuah tulisan yang membuat mereka terkesima. Tulisan itu berbunyi; ”HARVARD BUSINESS REVIEW”.
 
Mereka bergidik.
Nggak seorang pun dari penghuni kubikal yang pernah membaca dokumen serupa itu sebelumnya. Mereka percaya jika itu hanyalah pantas untuk menjadi santapan para boss. Sedangkan pegawai biasa-biasa saja nggak cocok membaca yang begituan.
 
Sekarang mereka melihat dokumen itu sebagai ’milik Natin’. Belongs to Natin.
Diantara keterkejutan itu, mereka menemukan pemahaman atas menu hari ini yang ditemukan dalam whiteboard di pantry. Sekarang mereka mengerti maksudnya.
 
Setelah berdebat dalam perbedaan pendapat, akhirnya mereka mengerti apa yang dimaksud oleh Natin dengan menu hari ini yang dibuatnya. Ternyata memang Natin tidak sekedar membual. Atau meneriakkan jargon-jargon seperti yang digembar-gemborkan oleh orang-orang pintar diatas podium. Natin mengatakan sesuatu yang realistis. Yaitu sesuatu yang dia sendiri sudah melakukannya. Bukan sekedar teori dalam bualan.
 
 
Pantas jika Natin menulis menu hari ini di whiteboard seperti itu. Karena dia sendiri sudah terlebih dahulu melakukannya. Wajar jika di whiteboard itu Natin menulis begini:
 
Menu hari ini:
”SEKOLAH DI KANTOR”
 
Bekerja itu. Bukan sekedar mencari uang.
Bekerja itu adalah proses belajar dan meningkatkan kapasitas diri. Tidak ada orang yang langsung terampil begitu selesai kuliah. Tidak ada pengalaman yang bisa didapatkan tanpa melakukannya. Maka bekerja, adalah saat terbaik untuk menempa diri. Sehingga kantor, adalah tempat terbaik untuk ’bersekolah’. Begitulah prinsip hidup Natin.  
 
Semua orang di kubikal saling pandang. Tak ada kata terucap. Setidaknya untuk beberapa waktu. Mereka terjerat dalam perenungan tentang apa yang selama ini mereka lakukan di kubikal. Uang. Adalah kejaran nomor satu-satunya. Segala sesuatunya diukur hanya dengan uang. Uang. Dan uang.
 
Jika nggak ada uang yang sepadan. Ngapain susah-susah ngerjain.
Jika nggak ada uang tambahan. Ngapain ada tambahan penugasan.
Jika ngga ada uang lebih. Ngapain harus kerja lebih dari job description.
 
Sekarang mereka mengerti. Mengapa Natin selalu mau menerima perintah mengerjakan apapun. Disuruh membantu manager ini, siap. Diperintah membantu manager yang itu, mau. Bahkan Natin sering datang kepada orang-orang yang sibuk. Lalu bertanya;”Boleh saya bantuin kerjaannya Mbak....”
 
Semua fakta itu terlihat jelas dalam keseharian Natin selama ini.
Namun belum benar-benar mereka pahami hingga pagi ini. Bahkan ketika Natin menuliskan menu hari ini di whiteboard kesayangannya. Orang-orang dikubikal tidak serta merta memahaminya. Mereka malah memperdebatkannya.
 
Namun, fakta yang tertulis dalam dokumen berbahasa Inggris setebal delapan halaman itu menceritakan hal lain. Yang tak seorang pun bisa membantahnya. Ternyata. Semangat belajar Natin benar-benar melampaui siapapun yang jabatan dan kedudukannnya di kantor lebih terhormat.
 
Seorang karyawan keren membaca buku? Itu biasa.
Seorang manager ngomong bahasa Inggris? Itu sudah seharusnya. Masak manager nggak ngerti bahasa Inggris. Kursuslah biar ngerti sedikit-sedikit.
 
Tapi. Seorang office boy menyantap ’Harvard Business Review’? Itu bukan hal yang biasa. Jangan-jangan. Cuma Natin satu-satunya yang menyantap bacaan semacam itu di seantero kantor.
 
Apapun itu. Telah membuat semua orang di kubikal sadar. Bahwa mereka harus segera memperbaiki orientasi kerjanya. Uang. Ya. Semua orang membutuhkan uang. Tetapi, uang sudah pasti didapatkan oleh mereka yang bekerja dengan baik. Di tempat yang baik.
 
Selain uang, apa?
 
”Weleh, weleh, weleeeeeeeh......” suara Pak Mergy memecah keheningan. ”Khusyuk sekali kalian ini membacanya.” katanya. ”Kertas apa-an tuch?” seraya menarik dokumen itu dari tangan Opri.
 
Air mukanya menyiratkan senyum sumeringah. Sampai ketika matanya menangkap apa yang tertulis di dokumen itu. Mendadak saja sekujur tubuhnya membeku.
 
”N-Natin.... b-baca artikel ini....?” Nyaris tidak jelas. Apakah Pak Mergy bertanya kepada orang-orang. Atau sekedar bergumam untuk dirinya sendiri.
 
”Ah, ya. Ehm.” Secepat kilat Pak Mergy kembali kepada gaya bicaranya yang berkelas. Membetulkan dasinya yang sebenarnya baik-baik saja. Lalu kembali berkata;”Ini adalah sesuatu yang layak kalian contoh.”
 
Orang-orang di kubikal saling pandang.
”Jangan mau jadi orang yang terkungkung oleh keterbatasan kubikal,” kata Pak Mergy lagi. ”Ingat. Ilmu itu bisa diakses oleh siapa saja. Maka belajarlah kalian. Biar jadi orang pintar. Karena orang pintar, punya masa depan yang lebih baik.”
 
Pak Mergy sekali lagi membetulkan dasinya.
Lalu beliau beranjak. Meninggalkan orang-orang di kubikal yang masih pada bengong.
 
”Sekris.” teriak Pak Mergy.
”I-Iya Pak,” Sekris menyahut setengah gugup.
”Tolong terjemahkan dokumen itu untuk saya.....” katanya.
 
Hooooooh……. Orang-orang langsung merasa lemas…..
 
Tiba-tiba saja semua orang di kubikal menyadari bahwa setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk belajar. Peluang yang sama untuk berkembang. Kemungkinan yang sama untuk terus meningkatkan diri. Hanya saja. Cuma sedikit yang mau mengambil tindakan. Beruntung sekali. Hari ini mereka bisa mencerna pesan penting yang dituangkan oleh Natin di whiteboard didalam pantry. Kata Natin, bekerja itu seperti sekolah. Karena selama bekerja, kita berkesempatan untuk mempelajari banyak hal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar