Minggu, 22 Juli 2012

Personal Insight#2: Kita Betul-Betul Unik, Titik.

Ada begitu banyak orang sukses disekitar kita. Bisnisnya lebih besar dari kita. Karirnya lebih baik dari kita. Pencapaiannya lebih tinggi dari kita. Wajar jika kita ingin seperti mereka. Wajar juga jika kita berguru kepada mereka. Lalu berdasarkan ilmu yang diwarisi dari mereka itu kita mengikuti semua perilaku dan tindak tanduknya. Yang tidak wajar adalah ketika kita meniru semua gaya mereka plek ketiplek sehingga sekarang kita menjadi copycat alias ‘manusia tiruan’ dari orang yang kita kagumi itu.
 
Memang, saya pernah mendapatkan ajaran ini; Anda bisa meraih kesusesan seseorang yang Anda kagumi dengan cara ‘meniru’ apapun yang dilakukannya. Jika Anda meniru cara berjalannya. Cara berpakaiannya. Cara berbicaranya. Cara tersenyumnya. Cara meliriknya. Cara memelihara kumisnya. Potongan rambutnya. Setelan pakaiannya. Semua cara yang dilakukan oleh orang itu. Maka Anda bisa menyelami jiwanya. Dan Anda bisa meniru juga kesuksesannya. Kemudian saya bertanya; dimanakah keunikan pribadi saya jika seluruh hidup saya diisi oleh semua tiruan itu?
 
Tidak ada obat yang tidak memiliki efek samping. Setidaknya itulah yang saya pahami ketika belajar tentang bagaimana suatu obat bisa menyembuhkan penyakit. Makanya, tidak ada obat yang boleh digunakan melebihi takarannya. Sebab kelebihan takaran bisa meningkatkan resiko munculnya efek samping yang justru malah membahayakan. Begitu pula dengan berguru kepada orang-orang hebat. Ada efek sampingnya juga. Dan efek samping yang sering menggoda kita itu adalah; lunturnya keunikan pribadi kita.
 
Ketika belajar untuk berbicara di depan publik misalnya. Saya sedemikian terpukaunya oleh gaya orasi dan presentasi guru-guru saya. Ketika berguru kepada orang yang pandai mengaduk-aduk emosi pendengarnya, saya kagum lalu mengikuti cara dan gaya bicaranya. Ketika berguru kepada orang yang lihai membuat pendengar tertawa terpingkal-pingkal, saya kepincut lalu mengikuti guyonan-guyonannya. Ketika berguru kepada orang yang terampil membuat pendengarnya terharu hingga menangis tersedu-sedu; saya terpukau lalu meniru cara bicaranya.
 
Lalu, ketika menonton video-video yang merekam cara saya bicara didepan publik, tiba-tiba saja saya melihat orang lain yang berperan didalam rekaman itu. Hanya wajahnya saja yang mirip saya. Hanya postur tubuhnya saja yang seukuran dengan saya. Tetapi gaya bicaranya. Cara menyapa audiensnya. Gerak-geriknya. Sama sekali bukan saya. Pada saat itulah saya menemukan bahwa orang yang ada dalam video itu tidak lebih dari sekedar tiruan orang lain. Apakah Anda pernah menonton tentang video serupa itu? Video yang Anda menjadi pemeran utamanya. Namun perilaku orang dalam video itu sama sekali tidak mencerminkan diri Anda yang sesungguhnya, melainkan orang lain yang terlampau Anda kagumi. Dimana keunikan pribadi kita jika demikian?
 
Dalam kasus saya, lunturnya keunikan pribadi tersebut merupakan hasil dari beberapa kejadian. Misalnya, ketika guru-guru saya bilang; “no no no…. that is not what you supposed to be doing!” Lalu saya mengikuti contoh yang ditunjukkannya sambil mengatakan;”begini lho, seharusnya kamu lakukan…”. Dan karena saya orang cerdas, maka saya bisa mengikuti ajarannya dengan nyaris sempurna. Lalu jadilah saya pribadi dengan cangkang yang sama namun isinya diganti oleh tiruan. Mungkin juga hilangnya keunikan pribadi saya itu disebabkan karena saya ‘iri’ pada orang lain. Jika mereka bisa begitu, kenapa saya tidak? Ini disebut iri yang positif, kan? Tanpa disadari, saya menjadi semakin menjauh dari keunikan saya sendiri. Lantas, bagaimana dengan Anda?
 
Bukan salah guru-guru saya jika saya jadi begitu. Mereka sudah melakukan yang terbaik untuk membantu saya menjadi pribadi yang lebih baik dengan cara yang sudah mereka buktikan sendiri sehingga tidak diragukan lagi kehandalannya. Juga bukan salah orang-orang sukses lainnya yang saya tiru. Mereka sudah melakukan yang terbaik untuk meraih pencapaian mengagumkan dalam hidupnya. Yang salah adalah saya sendiri ketika menerjemahkan semua hal yang saya lihat dari mereka itu sebagai sesuatu yang mesti saya tiru mentah-mentah. Saya yang salah karena telah mengabaikan fakta tak terbantahkan bahwa Tuhan, tidak pernah menciptakan dua pribadi yang benar-benar identik. Tuhan, telah menciptakan setiap insan dengan keunikannya masing-masing. Sejalan dengan titahNya bahwa setiap manusia itu diciptakan untuk saling melengkapi.
 
Sekarang saya lebih menyadari jika untuk bertumbuh kembang itu, kita tidak perlu menjadi pribadi tiruan orang lain. Karena selain sangat melelahkan, hal itu juga tidak membuat jiwa kita tenteram. Mengapa? Karena tubuh kita, tidak diciptakan untuk diisi oleh jiwa dan karakter orang lain. Boleh saja jika kita meniru teknik atau cara orang-orang hebat menjalani hidupnya. Namun, seperti obat yang butuh takaran yang tepat itu. Kita tidak boleh mengambilnya terlalu banyak hingga keunikan karakter kepribadian kita sendiri tertutupi oleh keunikan karakter orang lain.
 
Jika Anda ingin sembuh dari sakit, gunakan obat sesuai dosisnya. Tidak boleh kurang, karena mungkin akan susah untuk sembuh. Juga tidak boleh berlebihan karena sangat mungkin justru bisa membahayakan jiwa. Begitu pula ketika kita hendak berguru kepada seseorang. Dengarkanlah. Ikutilah. Contohlah. Namun semuanya mesti dalam takaran yang sepatutnya. Jika kurang mengikuti keteladanan para guru itu; susah untuk menjadi pribadi sukses seperti mereka. Dan jika berlebihan ketika mengikuti ajarannya, maka kita akan menjadi pribadi taklid. Yang kehilangan keunikan diri sendiri. Padahal, kita hanya bisa saling berkontribusi melalui keunikan masing-masing. Bukankah Tuhan menciptakan kita tidak seperti kuda zebra?
 
Catatan Kaki:
Proses belajar yang baik itu ditandai dengan terjadinya transfer ilmu dari guru, tanpa harus menghapus keunikan muridnya masing-masing.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar