Minggu, 22 Juli 2012

Spiritualism #2: Berkarya Sepanjang Hayat

Di tempat tinggal saya, ada pedagang buah pisang keliling. Dengan tubuh bungkuk dan cara berjalan khas manusia yang sudah renta, beliau tetap gigih menjajakan dagangannya. Saya sering merasa iba kepadanya. Lalu berguman didalam hati; “Bukankah seharusnya kakek itu sudah menikmati masa tuanya? Mengapa  masih harus bekerja seperti itu?”
 
Mantan atasan saya juga sudah pensiun bertahun-tahun, namun sampai sekarang saya mendengar beliau masih menjadi eksekutif di berbagai perusahaan terkemuka. Saya sering merasa heran kepadanya. Lalu berguman didalam hati; “Bukankah beliau itu sudah kaya raya? Mengapa masih harus bekerja seperti itu?”
 
Ketika ayah saya pensiun dari profesinya sebagai guru beberapa tahun lalu, beliau ‘kembali ke sawah’. Benar-benar turun ke sawah dengan seragam siap tempur untuk nyebur kedalam lumpur. Saya sering memikirkan apa yang masih dicarinya. Lalu berkata kepada beliau; “Bukankah ini saatnya beristirahat? Mengapa masih harus bekerja seperti itu?”
 
Sejak masih kecil, saya mengenal ayah  sebagai orang yang menyukai bekerja di sawah. Selepas sembahyang subuh, beliau pergi ke sawah. Lalu pulang sekitar jam setengah tujuh. Setelah bersih-bersih, beliau berangkat ke sekolah dengan mengendarai sepeda. Jam satu siang, beliau sudah pulang. Sembahyang dzuhur, lalu kembali ke sawah hingga beduk magrib tiba. Jam kerjanya dibagi rata 50%-50% untuk mengajar dan bertani.
 
Ketika berada di puncak karir keguruannya, beliau menjadi kepala sekolah di dua sekolah berbeda pada saat yang bersamaan. Sehingga tidak sempat lagi untuk mengurusi sawah. 100% jam kerjanya diberikan kepada profesinya sebagai pendidik. Setelah pensiun. Beliau kembali ke sawah. Sekarang, 100% jam kerjanya untuk bercocok tanam lagi.
 
Kepada ketiga jenis pekerja gigih ini saya mempunyai satu pertanyaan yang sama; “Sampai kapan Bapak akan terus bekerja?” Dari ketiganya saya mendapatkan jawaban yang juga sama;” Sampai tidak mampu lagi melakukannya….” Dan saya masih juga tidak memahami ketiganya.
 
Dulu sekali saya sering tidak mengerti kepada ketiga jenis orang itu. Mungkin karena banyak orator dan buku yang mengajak kita untuk pensiun dini. Lalu menikmati hidup dengan pelesir kesana sini. Dulu sekali, saya sering merasa iba kepada orang-orang seperti kakek tua yang mesti keliling kampung menjajakan buah pisang itu. Dulu sekali, saya sering tidak habis pikir dengan para pensiunan seperti mantan atasan saya. Dulu sekali, saya sering kasihan pada ayah. Meskipun beliau mengatakan;”Bekerja itu bagian dari penyempurnaan hidup. Maka bekerjalah terus hingga hidup tidak mengijinkan lagi.” Saya belum faham juga.
 
Suatu waktu, saya mendapatkan berita dari kampung halaman. Ini tentang kakek saya – ayah dari ayah saya. Beliau bekerja sebagai petani hingga usia senja. Saya dikabari jika beliau meninggal di sawah ketika sedang merawat tanamannya. Ayah saya juga sedemikian cintanya pada pekerjaan di sawah. Saya curiga jika beliau akan mengalami hal yang sama seperti kakek saya. Sekarang saya mulai memahami bahwa bekerja itu merupakan bagian dari perjalanan ruhani dalam kehidupan spiritual mereka. Usia saya sudah melewati 40 tahun kini. Dan saya punya kecintaan yang sama mendalamnya terhadap pekerjaan. Jangan-jangan, saya akan mengalami hal yang sama seperti kakek dan ayah saya.  
 
Sekarang saya tahu, kita keliru jika mengasihani orang-orang tua yang masih mencintai pekerjaannya. Kita salah alamat jika demikian. Kalau kita mau mengasihani seseorang karena bekerja, maka kasihanilah mereka yang bekerja sambil menggerutu. Kasihanilah mereka yang percaya bahwa bekerja itu adalah beban kegiatan yang ingin segera ditinggalkannya sedini mungkin. Kasihanilah mereka yang bekerja karena merasa tidak punya pilihan lain. Karena mereka yang bekerja karena terpaksa, tidak akan mendapatkan kepuasan batin seperti yang terpancar diwajah orang-orang yang bekerja karena mengikuti panggilan hatinya.
 
Kelak jika anak-anak sudah dewasa, saya ingin mereka memahami bahwa mereka tidak perlu mengasihani orang tua yang masih mau bekerja. Karena dengan bekerja seseorang bisa tetap menjadi pribadi yang berguna. Pantaslah Rasulullah menasihatkan jika sebaik-baik manusia itu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. Bahkan Tuhan pun tidak pernah berhenti berkarya. Maka ijinkanlah tubuh renta ini untuk terus berkaya, hingga akhir hayat kelak. 
 
Catatan Kaki:
Yang patut dikasihani itu adalah mereka yang bekerja dengan perasaan terpaksa, bukan tubuh-tubuh renta yang terus berkarya karena panggilan hati mereka. Siapapun yang terpaksa, tentu tersiksa. Sedangkan orang yang terpanggil hatinya, menjalani pekerjaan dengan suka cita.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar