Selasa, 24 Juli 2012

Spiritualism#3: Pemimpin Adil Itu Anak Buah Yang Patuh

Hubungan antara pemimpin dan orang-orang yang dipimpinnya selalu menyiratkan kisah menarik. Banyak contoh hubungan baik yang layak kita teladani. Banyak juga contoh hubungan buruk yang juga patut dijadikan pelajaran. Tanpa perlu membandingkan lebih banyak contoh yang mana disekitar kita – contoh yang baik atau yang buruk – kita punya begitu banyak kesempatan menyimak, mempelajarinya, lalu menggunakan semua temuan itu untuk meningkatkan kualitas pribadi kita. Baik sebagai seorang pemimpin sekaligus juga sebagai orang yang dipimpin. Sebab, bukankah setiap pribadi itu pemimpin? Dan bukankah setiap pemimpin adalah juga orang yang dipimpin?
 
Ketika berada pada posisi memimpin kita ingin sekali agar semua orang yang kita pimpin itu patuh kepada kita. Kepatuhan anak buah membuat pekerjaan kita sebagai pemimpin menjadi semakin mudah, bukan? Sungguh sangat menyebalkan jika ada satu orang yang yang nyeleneh, apalagi sampai membangkang. Sekedar tidak menyimak pengarahan kita saja keberadaannya sudah bisa membuat gerah. Jika kita tidak menyukai anak buah yang bikin susah, maka pertanyaannya sekarang adalah; sebagai anak buah bagi orang yang memimpin kita, apakah kita juga sudah menjadi seorang anak buah yang benar-benar baik?
 
Ada sebuah hukum sederhana dalam kepemimpinan. Bunyinya begini; “Jika ingin menjadi pemimpin yang baik bagi anak buah Anda, maka Anda harus belajar menjadi anak buah yang baik bagi pemimpin Anda.” Kalau Anda tidak bisa menjadi anak buah yang baik bagi pemimpin Anda, mengapa Anda kok menuntut orang-orang yang Anda pimpin itu menjadi anak buah yang baik bagi Anda? “Masalahnya, pemimpin saya itu tidak layak berada pada posisinya,” mungkin kita bisa berkilah begitu. Sederhana saja jawabannya; “Apakah kita mengira jika semua orang yang kita pimpin itu berpendapat bahwa kita layak berada pada posisi yang sedang kita duduki ini?” Belum tentu juga.
 
Saya yakin Anda masih ingat kisah Nabi Sulaiman atau King Solomon. Siapa sih yang tidak mengenal beliau? Jangankan manusia. Angin, hewan, bahkan jin sekalipun tunduk patuh kepadanya. Dizaman beliau, ada penguasa lain yang tidak kalah termasyhurnya. Beliau adalah Ratu Balqis yang tidak tunduk kepada pemimpin manapun karena kehandalan, kemakmuran, dan kedaulatan yang dimilikinya. Ketika King Sulaiman memintanya untuk tunduk, maka Ratu Balqis mengiriminya hadiah. Lalu, Sulaiman bertitah; “Sampaikah kepada Ratumu,” katanya. “Apakah dia mengira bisa menghentikan ajakanku dengan memberi hadiah itu!?” lanjutnya. “Katakan padanya jika yang diberikan Allah kepadaku, jauh melampaui apa yang dimiliki olehnya!!!”
 
Hal ini menjadikan Ratu Balqis yakin bahwa Raja yang satu ini berbeda dengan raja yang lainnya. Jika biasanya para penguasa mencari upeti, maka pemimpin yang satu ini tidak membutuhkan materi apapun dari orang yang diajak tunduk patuh bersamanya. Maka salah satu kualitas terpenting seorang pemimpin adalah; tidak mengharapkan materi apapun dari anak buahnya. Ketika seorang pemimpin mengaharapkan pengabdian berupa penyerahan materi dari orang yang dipimpinnya, maka nilai dirinya sebagai pemimpin tidak lebih dari sekedar sejumlah rupiah. Makanya, zaman sekarang sering terindikasi pemimpin yang tidak memiliki wibawa sama sekali. Karena, cahaya kepemimpinannya sudah padam tersiram oleh beragam setoran.
 
Mari belajar dari King Solomon. Yang mencukupkan diri dengan apa yang sudah dianugerahkan Tuhan kepadanya. Maka, keagungan pribadinya sebagai seorang pemimpin tetap terjaga. Dia, tidak tertarik untuk mengambil apapun melebihi apa yang menjadi bagiannya dari sisi Tuhan. Sehingga ketika memimpin orang lain, ajakannya tulus. Saat memimpin pun, dia tidak mengenal pamrih.
 
“Saya kan tidak pernah meminta materi apapun kepada anak buah saya!” Begitlulah kilah kedua kita. Memangnya apa sih yang bisa kita minta dari anak buah kita di kantor? Kan boleh dibilang tidak ada.  Betul, jika kita hanya bicara soal materi kasat mata. Namun, bukankah jabatan sering membuat kita gila hormat? Saking inginnya dihormati, kita sering meremehkan orang-orang yang kita pimpin. Padahal, bukankah harga diri jauh lebih bernilai daripada materi? Gue bossnya. Elo, elo dan elo; dengerin apa yang gue omongin. Raja Sulaiman lain. Dia, tidak berbicara untuk kepentingan diri pribadinya.
 
Memangnya apa sih yang diserukan oleh Sang Nabi? Dalam suratnya beliau mengajak Ratu Balqis untuk hanya menyembah Tuhan satu-satunya penguasa semesta alam. Ternyata beliau tidak mengajaknya untuk patuh kepada dirinya. Melainkan kepada atasannya lagi. Yaitu sang pemimpin kerajaan mutlak. Sang Maha Kuasa. Sang Maha Benar. Almighty. Jelas sekali jika Nabi suci itu adalah raja bagi sedemikian banyaknya mahluk. Namun, beliau sadar betul bahwa dirinya adalah hamba bagi atasannya yang lebih tinggi. Maka kepatuhannya kepada Maha Rajanya itulah yang membuat dirinya layak untuk diikuti dan dipatuhi. Dia mencontohkan kepada rakyatnya, bagaimana mematuhi pemimpinnya. Dalam memimpin, dia tidak sedang menumpuk-numpuk kepatuhan untuk dirinya sendiri. Dia meneruskan kepatuhan semua orang yang dipimpinnya itu kepada penguasa multak diatasnya.
 
Sungguh, Nabi Sulaiman telah memberikan contoh yang sedemikian gamblangnya bahwa; jika ingin menjadi pemimpin yang dipatuhi, maka kita mesti menunjukkan kepatuhan kepada pemimpin kita. Sudahkah Anda mencontohkan kepada anak buah Anda, bagaimana caranya menunjukkan kepatuhan kepada pemimpin Anda?  Jika belum, inilah saatnya untuk menunjukkan bahwa kita adalah anak buah yang bisa diandalkan oleh pemimpin kita. Jika kita berhasil menunjukkan itu, maka kita pun memberikan keteladanan kepada anak buah kita, tentang bagaimana caranya menjadikan diri mereka sendiri anak buah yang bisa kita andalkan. Dengan begitu, maka rangkaian kepemimpinan kita akan tersambung langsung dengan hirarki kepemimpinan Ilahi. Insya Allah, ya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar