Selasa, 31 Juli 2012

Ketika Jantung Berhenti Berdetak

Beberapa hari yang lalu, saya menyaksikan seseorang yang terkena serangan jantung. Meskipun cukup sering mendengar cerita-cerita tentang bagaimana menegangkannya saat-saat terjadi serangan itu, namun baru sekali itu saya menyaksikannya secara langsung. Pada saat yang paling kritis, saya mendengar suara seperti ‘mengorok’ di kerongkongan. Suara aneh itu membuat saya kalang kabut karena tidak tahu apa yang harus dilakukan. Di rumah sakit dokter mengajak saya untuk masuk ke sebuah ruangan yang didalamnya terdapat beberapa monitor komputer. Melalui perangkat komputer yang dihubungkan dengan selang kepada jantung itu dokter meminta saya untuk melihat secara langsung, apa yang terjadi didalam jantung. Sungguh, seluruh bulu kuduk saya serasa merinding.
 
Jantung adalah organ pertama yang terbentuk ketika jabang bayi memulai proses penciptaan atas seizin Tuhan. Dan jantung jugalah yang menandai akhir hidup seseorang. Hari itu, saya benar-benar mendapatkan kehormatan untuk memperoleh sebuah proses penyadaran diri tentang betapa berharganya hidup ini. Bagi Anda yang tertarik untuk menemani saya belajar memaknai hidup, saya ajak untuk memulainya dengan menerapkan 5 kemampuan Natural Intelligence berikut ini:  
 
1.      Menyadari betapa rentannya tubuh kita. Tubuh saya ini kurus, kecil; jauh dari bentuk ideal seorang pria jantan idaman para pemburu ketampanan. Bagaimana dengan Anda, apakah berperawakan sama seperti saya yang kerempeng? Ataukah Anda dianugerahi otot-otot yang kekar membentuk 6 gumpalan membanggakan ditengah-tengah perut seperti yang biasa dimiliki oleh para lelaki atletis?  Betapapun indahnya bentuk luar tubuh kita, boleh jadi isi didalamnya sama saja. Jantung yang saya lihat didalam tayangan langsung di ruang operasi itu menunjukkan bahwa tidak peduli sebesar dan sekekar apapun tubuh kita; kita ini sesungguhnya adalah mahluk yang rentan. Ketika Tuhan menyuruh jantung itu berhenti berdegup, maka tumbanglah tubuh setiap insan.
 
2.      Menyadari bahwa kita tidak tahu kapan hidup akan berakhir. Dua kakek saya meninggal dalam usia senja. Namun, salah satu anak saya meninggal hanya dalam hitungan minggu sejak dokter kandungan memberitahu kabar baik tentang detak jantungnya yang mulai terdeteksi oleh alat USG. Betapa penuh misterinya hidup yang kita miliki. Hingga tak seorangpun tahu kapan hidupnya akan berakhir. Setiap kali mengingat hal itu, saya selalu terdorong untuk bersegera menunaikan sembahyang yang sejak tadi masih tertunda-tunda. Setiap kali mengingatnya, kita termotivasi untuk mengurangi berbuat dosa. Dan setiap kali menyadarinya, kita kehilangan selera untuk berbuat curang atau nista. Semoga Tuhan berkenan membantu kita untuk selalu sadar bahwa kita tidak tahu kapan hidup ini akan berakhir.
 
3.      Menyadari bahwa kita akan dimintai pertanggungjawaban atas hidup. Ketika nafsu dan keserakahan memenuhi pikiran dan hati kita, biasanya kita tidak segan untuk melakukan apapun. Termasuk didalamnya perbuatan-perbuatan yang melanggar norma, atau mengambil sesuatu yang bukan hak kita. Sesungguhnya kita tahu jika perbuatan itu salah, namun dorongan hawa nafsu jauh lebih besar daripada pengetahuan tentang kebenaran. Ya sudah lakukan saja, mumpung tidak ada yang memergoki atau berani menghalangi. Mungkin kita perlu ingat kembali bahwa setiap perbuatan itu harus dipertanggungjawabkan. Dengan begitu, mungkin kita masih sempat berpikir ulang, setiap kali hendak berbuat curang. Atau melakukan tindakan-tindakan yang tidak disukai oleh Tuhan.
 
4.      Menyadari bahwa kita tidak bisa membayangkan kerasnya sisksaan Tuhan. Jika Anda pernah memegang palu, mungkin tangan Anda pernah secara tidak sengaja terpukul palu saat hendak memaku. Rasa sakitnya tentu bukanlah tandingan bagi pukulan palu malaikat yang marah karena kenistaan yang pernah kita lakukan semasa hidup. Jika Anda pernah memasak, mungkin tangan Anda pernah melepuh terkena kompor yang tengah menyala. Rasa panasnya bukanlah tandingan kobaran api didalam neraka yang menyala-nyala. Perlu berlatih dipukul martil sekeras apa supaya bisa tahan dari pukulan palu godam Tuhan? Harus latihan dibakar dengan api sebesar apa supaya bisa mengatasi panasnya api kemarahan Tuhan? Menyadari bahwa kita tidak bisa membayangkan kerasnya siksaan Tuhan, mungkin bisa lebih memotivasi kita untuk mengisi hidup dengan tindakan-tindakan yang bernilai.   
 
5.      Menyadari bahwa kita tidak berhak untuk menyulitkan orang lain. Kita sering mengira bahwa wacana tentang sorga dan neraka itu hanya cocok untuk dijadikan dongeng pengantar tidur saja. Hanya anak-anak yang layak mempercayainya. Orang dewasa seperti kita, tidak pantas lagi terbuai oleh cerita-cerita yang tidak ada bukti empiris tentang kebenarannya. Memang, hidup ini adalah pilihan. Kita boleh memilih untuk percaya, atau ingkar saja. Maka berbuat sesuka hati adalah hak kita. Namun, ada bagusnya jika kita sadar kita ini sama sekali tidak berhak untuk menyulitkan orang lain. Meski boleh berbuat nista, kita harus memastikan bahwa kenistaan yang kita buat itu tidak menjadikan orang lain menderita. Meski boleh mengambil yang bukan hak kita, namun kita tidak patut menyebabkan orang lain kehilangan kepemilikannya. Meski boleh mengambil sesuka hati kita, tapi kita tidak berhak menjadikan perusahaan mengalami kerugian. Menyadari bahwa kita tidak berhak untuk menyulitkan orang lain, mungkin membantu kita untuk menyadari bahwa tidak ada tindakan dan perilaku kita yang tidak terhubung dengan orang lain. Maka perilaku positif, hanya itulah pilihan yang kita miliki.
 
Menepuk dada adalah pertanda bahwa kita percaya diri dan yakin akan semua kemampuan yang kita miliki. Namun, kita sering tidak sadar bahwa didalam dada yang kita tepuk-tepuk itu ada sebuah organ penting yang menentukan hidup dan mati kita. Organ itu bernama jantung. Maka setiap kali kita menepuk dada, alangkah baiknya sambil mengatakan;”Tuhan, terimakasih telah Engkau izinkan aku memiliki jantung ini.” Dengan begitu, mungkin kita bisa semakin termotivasi untuk mengisi hidup yang singkat ini dengan segala hal yang Dia sukai. 

Catatan Kaki:
Tubuh kekar atau langsing. Wajah tampan atau cantik. Dompet tebal atau tipis. Semuanya tidak memiliki arti yang lebih besar daripada makna yang dikandung dalam sebuah organ bernama jantung.
 

Pendek dan Kecil Versus Panjang dan Besar

Daya imajinasi memungkinkan kita untuk mereka-reka rupa seseorang yang belum pernah kita temui secara fisik. Makanya Anda punya gambaran sosok sahabat pena yang Anda kenal didunia maya. Saya sering mengalami hal itu. Orang yang pertama kali bertemu dengan saya mengatakan;”Oh, ini toh Kang Dadang itu?”. Kejadian itu terulang lagi pada pertemuan dengan pengurus baru Alumni ITB Angkatan ‘89 hari sabtu lalu. Meski satu angkatan, semasa kuliah saya jarang sekali bertemu dengan mereka. Meski sama-sama aktivis berat, tetapi saya lebih banyak beraktivitas di luar kampus. “Kirain Dadang itu badannya tinggi dan besar, gitu.” Demikian kata teman saya begitu melihat bahwa sebenarnya saya ini pendek dan kecil. Tinggi 165 cm, berat 55 kg. Saya tidak keberatan menyebut diri sebagai orang yang ‘pendek dan kecil’. Karena kedua kosa kata itu bukanlah kebalikan dari ‘panjang dan besar’. Jadi, ya santai saja…
 
Meski demikian, kita tidak bisa benar-benar lepas dari dikotomi panjang dan pendek. Besar dan kecil. Dalam konteks umur, misalnya; kita selalu mendoakan agar orang yang sedang berulang tahun itu dianugerahi umur panjang. Kita juga selalu ingin menjadi orang besar, dan tidak ingin menjadi orang kecil.  Jadi, mau tidak mau memang harus diakui jika kita ini lebih menyukai yang panjang dan besar, daripada yang pendek dan kecil. Bagi Anda yang tertarik untuk menemani saya belajar cara mendapatkan yang panjang dan besar, saya ajak untuk memulainya dengan menerapkan 5 kemampuan Natural Intelligence berikut ini:  
 
1.      Menerima kenyataan bahwa segalanya sudah dijatah. Hidup dan mati kita. Jodoh dan rezeki kita. Nasib kita. Semuanya sudah tertulis dalam buku besar diharibaan Tuhan. Hal itu sama sekali tidak berarti Tuhan pilih kasih dan otoriter dalam menentukan semuanya, melainkan semakin menegaskan bahwa Tuhan sudah mengetahui apa yang akan terjadi dalam hidup kita sebelum kita sendiri mengalaminya. Tuhan sudah tahu kapan dan bagaimana cara kita akan mati, sehingga Dia sudah mencatatkan dalam buku itu. Jadi, sudahlah tidak perlu terlalu pusing apakah umur kita akan panjang atau pendek karena dalam konteks umur, size doesn’t matter. Yang menjadikannya ‘matter’ adalah apa yang kita lakukan dalam mengisi jatah umur yang kita miliki itu. Mau diisi dengan tindakan yang baik dan produktif atau dengan keburukan dan kesia-siaan belaka.
 
2.      Panjangkanlah ‘umur manfaat’ Anda, bukan ‘umur fisik’. Bukan hanya di dalam novel-novel fiksi kita bisa melihat betapa manusia mabuk dengan umur panjang. Dalam dunia nyata pun demikian. Padahal, kita melihat fakta bahwa diantara manusia yang umurnya panjang itu banyak yang secara mental kembali lagi kepada keadaan semasa mereka masih kecil. Sebaliknya, banyak orang yang sudah meninggal namun hasil karyanya masih digunakan oleh banyak orang. Temuan-temuannya masih terus digunakan. Ajaran-ajarannya masih tetap ditaati. Kalimat-kalimat penuh hikmahnya masih tetap diingat. Bukankah mereka inilah yang secara hakekat memiliki umur yang panjang? Bahkan Anda sendiri sering menyebut nama seseorang yang sudah meninggal sejak berabad-abad lamanya, bukan? Mungkinkan nama kita masih disebut oleh orang-orang yang hidup 500 tahun dari sekarang?
 
3.      Besarkanlah nilai manfaat diri Anda bukan ukuran tubuh Anda. Anda memiliki sebuah amplop berisi ratusan juta rupiah. Itu adalah uang berlebih Anda setelah dikurangi alokasi untuk kebutuhan hidup layak dan keperluan lainnya. Anda punya dua pilihan untuk menggunakan uang itu. Pertama, pergi ke dokter bedah platik, maka Anda akan awet muda. Uang itu cukup untuk melakukan perawatan seumur hidup. Kedua, pergi ke panti asuhan lalu Anda meletakkan amplop itu didepan pintu dengan pesan “Untuk Merenovasi Atap Panti Yang Bocor”. Jika Anda mengambil pilihan kedua, maka saya menjamin bahwa Anda akan berhasil membuat nilai hidup Anda jauh lebih besar tanpa harus membeli BH baru dengan nomor yang lebih besar.
 
4.      Berusaha untuk mendapatkan yang besar dan panjang. Kata orang, hanya ada dua kemungkinan mengapa seseorang sangat setia pada pameo ‘size doesn’t matter’, yaitu; size miliknya minimalis atau sedang berpura-pura puas dengan yang minimalis itu. Saya tidak tahu benar apa tidaknya. Tapi jika dipikir-pikir; kalau kita bisa mendapatkan yang panjang dan besar, mengapa harus terus mendekap yang pendek dan kecil? Bayangkan jika Anda bisa memiliki umur panjang hingga 110 tahun. Jika Anda mencapai akil baligh pada usia 10 tahun maka itu artinya Anda bisa memupuk amal dan kebajikan selama 100 tahun. Bukankah umur panjang dan besarnya nilai pahala yang Anda kumpulkan itu bisa menjadi bekal yang sangat banyak untuk mendapatkan karunia Tuhan? Masalahnya, kita tidak tahu sampai umur berapa kita beroleh hidup? Makanya hanya satu hal saja yang bisa kita lakukan, yaitu; memperbanyak amal baik. Jika bisa dengan uang, maka lakukan dengan uang. Jika hanya bisa dengan kata-kata bijak, maka lakukan dengan saling menasihati dalam kebaikan. Jika hanya bisa dengan perilaku baik, maka berperilaku baik yang tidak merugikan orang lainpun sudah menjadi amal saleh. Dengan begitu kita beroleh pahala besar.
 
5.      Mengoptimalkan yang pendek dan kecil. Semuanya ada ukurannya. Termasuk diri kita sendiri. Kalau memang DNA atau gennya pendek dan kecil mau diubah menjadi sepanjang dan sebesar apa lagi? Sudahlah terima saja. Anak ke-4 saya umurnya sangat pendek. Dia sudah meninggal saat berada dalam kandungan ibundanya pada usia kehamilan 12 minggu saja. Kami sedih. Tapi lebih banyak bahagianya. Kami yakin bahwa sang jabang bayi telah kembali keharibaan ilahi dalam keadaan suci. Kita yang terlanjur akil baligh ini tidak bisa kembali dalam keadaan suci seperti bayi. Tetapi, kita patut mensyukuri anugerah umur ini meskipun seandainya umur kita pendek. Kita ikuti saja meskipun takdir kita kecil, yang berarti kita memang hanya cocok untuk yang kecil-kecil. Sungguh tidak pas jika kita yang memiliki gen kecil ini melakukan dosa-dosa besar. Tahu dirilah sedikit jika mau melakukan dosa besar. Orang-orang yang punya ukuran pendek dan kecil mah cocoknya mengisi umur yang pendek itu dengan amal-amal yang banyak, meskipun hanya bisa melakukan hal-hal yang kecil.   
 
Size doesn’t matter. Bisa iya, bisa juga tidak. Selama kita bersedia untuk menerima diri sendiri dengan ikhlas, maka panjang atau pendeknya umur kita tidak akan menjadi kekhawatiran. Semoga saja dalam panjang atau pendeknya umur itu, Tuhan memperkenankan kita untuk mengumpulkan bekal hidup dan pahala dalam jumlah besar dan menjauhi dosa-dosa hingga sekecil-kecilnya. 

Catatan Kaki:
Orang besar itu beruntung, karena dengan kebesarannya dia bisa berkontribusi kepada orang-orang kecil. Orang kecil itu beruntung, karena dengan kekecilannya itu dia memberi tempat kepada orang-orang besar untuk menyalurkan jalan amalnya.
 

Employee Engagement Itu Siapa Yang Butuh Sih?

Dalam artikel sebelumnya kita telah membahas tentang tindakan-tindakan yang dapat dilakukan oleh seorang atasan untuk meningkatkan employee engagement para karyawan di unit kerjanya masing-masing. Boleh jadi, sekarang para atasan sedang mencoba mempraktekannya di kantor kita. Sekalipun demikian, upaya itu tidak akan pernah berhasil jika sebagai bawahan kita tidak mengambil porsi tanggungjawab untuk turut mewujudkannya juga. Lho, bukankah meningkatkan employee engagement itu tanggungjawab perusahaan dan atasan kita? Benar. Tetapi jika kita sendiri tidak peduli, maka semua upaya itu akan sia-sia saja. Terus, mengapa kita harus peduli sih? Memangnya siapa yang butuh employee engagement? Namanya juga employee engagement, ya management dong yang lebih berkepentingan? Argumen-argumen itu benar. Sekaligus keliru.
 
Benar karena employee engagement mempengaruhi suasana dan kinerja perusahaan. Keliru karena perusahaan bisa mengganti kita dengan karyawan yang lebih baik, sedangkan kita tidak bisa semudah itu mengganti perusahaan. Lebih keliru lagi karena rendahnya tingkat engagement kita ternyata sangat berpengaruh buruk kepada kesehatan fisik maupun mental kita sendiri. Oleh sebab itu, kita mesti mulai iklhas menerima dan menjalani profesi yang kita pilih. Jika tidak, maka kita akan terkena pengaruh buruknya, baik secara fisik maupun mental. Bagi Anda yang tertarik untuk menemani saya belajar memahami dampak negatif rendahnya employee engagement (EE) kepada pekerjaan, saya ajak untuk memulainya dengan memahami 5 sudut pandang Natural Intelligence berikut ini:  
 
1.      Rendahnya EE merusak suasana hati sendiri. Rendahnya EE ditandai dengan ketidakikhlasan Anda terhadap pekerjaan atau penugasan yang Anda terima. Jika Anda tidak ikhlas dengan pekerjaan Anda, apakah saat bangun pagi Anda akan merasa senang? Tidak. Anda justru akan menyesali mengapa setiap hari tanggalnya tidak merah semua. Sejak hari Senin hingga Jumat suasana hati Anda terus buruk. Ketika Sabtu tiba, kekesalan Anda masih tersisa. Sedangkan di hari minggu, Anda sudah memikirkan kembali bahwa besok, adalah hari Senin. Banyak orang yang tidak menyadari jika suasana hatinya telah dirusak oleh rendahnya engagement mereka terhadap pekerjaan. Karena itu, mereka mengira perasaan tidak enak saat pergi kerja adalah hal biasa. Padahal, itu harus segera dibenahi.
 
2.      Rendahnya EE menyiksa diri sendiri. Banyak orang yang tahu jika bersikap negatif kepada pekerjaan adalah salah satu cara efektif untuk menunjukkan rendahnya EE. Dan banyak orang yang mengira bahwa bersikap negatif kepada pekerjaan juga sangat efektif untuk ‘memberi pelajaran’ kepada atasan-atasan mereka. Kenyataannya, para atasan yang cerdas tidak terlalu ambil pusing dengan sikap anak buahnya terhadap pekerjaan. Selama tugas-tugas anak buahnaya diselesaikan dengan baik, mereka tidak terlalu mempermasalahkan sikap. Dan jika sikap anak buahnya sudah kelewatan, mereka juga tidak terlalu ambil pusing. Karena mereka memiliki kekuatan untuk menggantinya dengan orang-orang yang lebih baik. Makanya, keliru jika kita mengira bisa ‘mengirim pesan’ negatif kepada atasan dengan cara itu. Sebab, rendahnya EE kita hanyalah akan menyiksa diri kita sendiri.
 
3.      Rendahnya EE menurunkan hasil penilaian kinerja. Misalnya, Anda adalah seorang atasan yang mempunyai anak buah dengan EE yang sangat rendah. Apakah di akhir tahun Anda akan memberi penilaian kinerja yang baik kepadanya? Anda mungkin memberi nilai bagus untuk penyelesaian tugas-tugas sesuai job desc. Tetapi performance appraisal tidak melulu soal selesai atau tidaknya pekerjaan, melainkan juga penilaian tentang perilaku dan sikap karyawan. Jika Anda pun tidak akan pernah memberi nilai bagus kepada anak buah yang punya EE rendah, maka mengapa Anda berharap atasan memberi nilai tinggi kepada Anda yang memiliki EE sama rendahnya? Hukum yang sama pasti berlaku; atasan Anda pun tidak akan pernah memberi penilaian kinerja yang baik kepada Anda jika engagement Anda kepada pekerjaan juga rendah.
 
4.      Rendahnya EE menyebabkan timbulnya penyakit. Ada orang yang memasabodohkan penilaian kinerja atasannya. “Percuma!” katanya. “Tidak ada pengeruhnya kepada kenaikan gaji, juga.” Begitu komentar yang lazim saya dengar. “Bonus saya tidak ada kaitanya dengan appraisal Pak,” kata yang lainnya. Anda boleh tidak peduli seperti mereka itu. Tetapi, penting bagi Anda untuk mengetahui bahwa penelitian yang dilakukan di tingkat global menunjukkan adanya hubungan yang erat antara rendahnya EE dengan penyakit-penyakit yang diderita seorang karyawan. Diantara penyakit yang berkaitan dengan rendahnya EE adalah; sakit kepala, pusing, asam lambung, dan stress yang tidak kunjung sembuh. Menurut pendapat Anda, pentingkah kesehatan itu? Jika iya, naikkah tingkat engagement Anda kepada pekerjaan. Karena rendahnya EE terbukti menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit fisik dan mental yang berkepanjangan.
 
5.      Rendahnya EE menjauhkan kesempatan dipromosi. Tidak perduli betapa banyaknya peluang promosi di tempat kerja Anda, jika hasil penilaian kinerja tahunan Anda buruk, ditambah dengan kesehatan fisik dan mental Anda yang juga buruk, maka kecil sekali kemungkinannya bagi Anda untuk mendapatkan promosi itu. Lagi pula, orang lain bisa dengan mudah merasakan jika Anda tidak benar-benar ikhlas dengan pekerjaan Anda. Orang lain juga tahu jika Anda tidak nyaman di kantor. Jadi, orang lain juga punya alasan untuk mendukung Anda dipromosikan. Padahal setahu saya, sebelum keputusan promosi dibuat; nama setiap kandidat terlebih dahulu ‘diedarkan’ kepada beberapa pengambil keputusan untuk diberi komentar dan masukan. Jadi jika Anda ingin dipromosi, maka pastikan bahwa Anda memiliki tingkat engagement yang tinggi. Karena rendahnya EE hanya akan semakin menjauhkan Anda dari kesempatan untuk dipromosi.
 
Siapa yang lebih berkepentingan dengan engagement selain karyawan sendiri? Tidak ada. Kita sendirilah yang paling berkepentingan. Karena itu, berhentilah menyalahkan perusahaan dan atasan Anda untuk rendahnya tingkat engagement Anda kepada perusahaan. Andalah yang paling berkepentingan. Dan Andalah yang bisa membenahinya untuk diri Anda sendiri.

Catatan Kaki:
Sesehatan fisik dan mental seorang karyawan sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya tingkat engagement yang dia miliki terhadap pekerjaan.

Sepasang Kacamata Untuk Atasanku

Sesekali saya menemani anak lelaki kami yang berusia 7 tahun untuk menonton film kesukaannya; Shaun The Sheep. Film tentang seekor domba yang diternakan oleh seorang petani bersama domba-domba penghasil wol lainnya dan seekor anjing penjaga. Shaun adalah domba yang paling kecil, kurus, dan kerempeng sehingga bulu-bulu yang dihasilkannya sangat sedikit. Tapi Shaun memiliki kecerdasan yang sangat tinggi dan hati yang jernih. Suatu ketika sang petani kehilangan kacamatanya, sehingga dia tidak bisa melihat dengan jelas. Karena penglihatannya yang terganggu, maka petani itu tidak bisa melakukan pekerjaannya dengan baik. Semua yang dilakukannya menjadi salah, padahal tak seorang pun tinggal didaerah itu untuk membantunya melihat dengan lebih baik. Apa yang dilakukan oleh Shaun si domba kurus itu?
 
Shaun berpikir keras untuk menolong sang petani sampai akhirnya dia berhasil membuatkan sepasang kacamata untuk tuannya itu. Maka pada saat yang paling kritis, Shaun bisa membantunya untuk melihat lebih jelas, sehingga tuannya bisa kembali menjalankan tugas-tugas hariannya dengan baik. Menyaksikan film itu saya menjadi teringat tentang kita. Khususnya yang memilih untuk menjadi karyawan professional. Petani itu bagaikan atasan yang menggembalakan, sedangkan para karyawan adalah domba-dombanya yang mereka jaga dan arahkan. Seperti petani itu, atasan kita tidak selamanya benar. Namun, disaat kita tahu atasan kita melakukan kekeliruan, apa yang kita lakukan? Bagi Anda yang tertarik untuk menemani saya belajar mengambil peran positif disaat atasan melakukan kesalahan, saya ajak untuk memulainya dengan menerapkan 5 kemampuan Natural Intelligence berikut ini:  
 
1.      Berilah atasan Anda ruang untuk melakukan kesalahan. Secara tidak langsung kita sering menuntut atasan untuk melakukan keajaiban. Salah satu keajaiban yang kita tuntut adalah; mereka tidak boleh salah. Jangan terlalu membanggakan atasan yang tidak pernah berbuat salah. Karena hanya ada 2 kemungkinan bagi mereka yang tidak pernah salah, yaitu; (i) tidak  melakukan apapun, atau (ii) tidak belajar sesuatu yang baru dalam hidupnya. Anda justru harus memberi ruang kepada atasan Anda untuk melakukan kesalahan konstruktif. Yaitu kesalahan yang dilakukannya dalam usaha untuk semakin mengembangkan teamnya, meraih pencapaian yang lebih tinggi, serta bereksperimen dengan hal-hal yang baru. Jika Anda menilai kesalahan atasan sebagai sesuatu yang tabu, maka atasan Anda juga tidak akan mengambil resiko untuk melakukan hal-hal besar. Mengapa? Karena atasan pun menginginkan penilaian yang baik dimata bawahannya.
 
2.      Sadarilah bahwa kita pun bisa melakukan kesalahan yang sama. Ketika atasan melakukan kesalahan, apa yang dilakukan oleh bawahan? Pada umumnya mereka menggunjingkan kesalahan atasannya di toilet atau di kantin-kantin. “Orang G0610K begitu kok diangkat jadi manager!” begitu ejekan yang sering kita dengar. Saya sudah cukup banyak menyaksikan fakta bahwa mereka yang dulunya sering mengkritik atasannya tentang cara memimpin ternyata juga tidak hebat-hebat amat ketika kebagian giliran dirinya yang mengambil tampuk kepemimpinan. Terimalah kenyataan bahwa kita ini manusia biasa. Selama tidak melanggar integritas, maka wajar jika melakukan kesalahan. Oleh sebab itu setiap kali menemukan atasan kita melakukan kesalahan, maka sebelum memakinya dalam hati atau mentertawakannya dibelakang mereka; mawas dirilah terlebih dahulu. Bukankah kita juga bisa melakukan kesalahan yang sama?
 
3.      Sadarilah bahwa kita ada untuk menjadi penolong bagi atasan. Setiap bawahan itu ada untuk menolong atasan menyelesaikan tugas-tugasnya dalam mencapai business objective-nya. Ini yang sering tidak disadari oleh para bawahan. Padahal, tidak butuh mengerti tentang Balance Score Card dulu untuk memahami hal ini. Kinerja semua orang dalam organisasi saling mempengaruhi satu sama lain. Apalagi antara atasan dengan bawahan. Makanya strategic objective setiap atasan selalu diturunkan kepada bawahannya, bukan malah sebaliknya. Dari presiden direktur ke para direktur, lalu manager dan kemudian staffnya masing-masing. Dengan begitu akan ada keselarasan antara apa yang dikerjakan oleh atasan dan bawahan dengan porsinya masing-masing. Jika para atasan itu bisa melakukan semuanya sendiri maka dia tidak butuh bawahan. Itu artinya posisi yang kita pegang itu tidak perlu ada. Mengapa sekarang jadi ada? Karena para atasan membutuhkan seseorang yang membantunya untuk mentjapai boesiness obdjective mereka. Hal itu berarti bahwa setiap bawahan yang tidak bisa memainkan perannya, tidak cocok untuk diberi kepercayaan itu.
 
4.      Fahamilah bahwa atasan membutuhkan kita untuk melihat lebih jernih. Banyak bawahan yang bisanya hanya mengkritik atasan tanpa bisa berkontribusi pada perbaikan. Jika sikap itu dibumbui oleh rasa iri atau tidak suka, maka kemudian akan berkembang kepada kasak-kusuk untuk menjatuhkan. Apa yang dilakukan oleh Shaun? Dia tidak mentertawakan atasannya yang berkelahi dengan orang-orangan sawah  karena kelamuran pandangan tuannya itu membuat dia mengira ada yang hendak mencuri dombanya. Shaun ‘melerai’ perkelahian itu. Ketika tuannya keliru menggunting tumpukan jerami yang dikiranya wol domba yang sudah siap dicukur, Shaun berpikir keras; bagaimana caranya membuat sang tuan kembali dapat melihat dengan lebih baik? Ketika dia berhasil mendapatkan kacamata itu, maka dia memasangkannya dimata tuannya. Maka seketika itu pula sang petani bisa melihat dengan jernah apa yang sesungguhnya terjadi di tanah pertaniannya. Semuanya berjalan lancar setelah itu. Bisakah kita membantu atasan untuk melihat lebih jernih?
 
5.      Posisikanlah diri Anda sebagai pemberi solusi. Mencari masalah itu gampang. Bahkan tanpa dicari pun masalah mah pasti datang. Kalau kita hanya bisa menambah masalah, maka sebenarnya kita merupakan bagian dari masalah itu sendiri. Saat seseorang membuang masalah itu, maka bisa jadi kita pun harus ikut dibuang juga. Mencari solusi, itulah yang memiliki nilai seni. Hanya sedikit orang yang bisa melakukannya, sehingga orang-orang yang berfokus kepada upaya untuk memberikan solusi masih termasuk mahluk langka. Seperti hukum supply dan demand, harga orang-orang yang bisa memberikan solusi ini sangat tinggi sekali. Makanya, aneh sekali jika kita ingin dibayar lebih tinggi tetapi tidak memposisikan diri sebagai pemberi solusi. “Be the part of the solution, not the problem.” Begitu nasihat guru management saya. Saya berani bersaksi jika nasihat itu benar. Karena saya sendiri pernah mempraktekannya. Dan hasilnya? Hmm, Anda buktikan saja sendiri. Berfokuslah untuk memberikan solusi, maka Anda akan merasakan sendiri bagaimana keajaiban karir dan penghasilan mendatangi Anda.
 
Jika Anda melihat kesalahan para atasan. Tetaplah bersikap positif terhadap kesalahan atasan Anda, dan berfokuslah untuk berkontribusi dalam melakukan perbaikan. Toh suatu saat nanti boleh jadi Anda pun akan menjadi seorang atasan. Apalagi jika saat ini Anda juga sudah punya anak buah. Boleh jadi, kekurangan yang Anda lihat pada atasan Anda itu sesungguhnya adalah kelemahan Anda sendiri dimata anak buah Anda. Tidak zaman lagi untuk terus berusaha melihat semut diseberang lautan, sambil mengabaikan gajah yang melambai-lambaikan belalainya persis dimuka kita sendiri. Berhentilah menilai atasan secara negatif. Dan mulailah mempraktekkan ke-5 uraian diatas, sekarang juga.

Catatan Kaki:
Ketika atasan kita melakukan kesalahan, mereka membutuhkan sepasang kacamata yang kita buatkan agar bisa melihat lebih jelas dan kembali menjalankan fungsinya dengan lebih baik.

Natin Dipanggil Presiden Direktur

Jam makan siang sudah sejak tadi berakhir.
Orang-orang masih belum juga kembali ke kubikalnya masing-masing. Keadaan itu membuat Sekris serba salah. Kalau dia melaporkannya pada Pak Mergy maka dia akan disebelin oleh teman-temannya sendiri. Tapi kalau dia tidak melaporkannya, maka dia akan dimarahi atasannya itu.
 
Sekris hanya bisa berharap orang-orang itu segera kembali ke kubikal masing-masing. Sebelum Pak Mergy kembali dari rapat dengan kliennya di luar kantor. Kalau Pak Mergy sudah keburu kembali, sudah deh. Dia nggak bisa berbuat lain selain mencatat siapa saja yang datang telat dari makan siangnya.
 
Bagaimanapun juga Sekris tidak mau mengambil resiko disebelin teman-temannya atau dimarahin atasannya. Apa boleh buat. Dia hanya punya pilihan memainkan jempolnya untuk mengingatkan teman-temannya agar cepat-cepat balik ke kubikal.
 
”Tapi rapat kita belum kelar Kris...” Balas Opri lewat pesan singkatnya.
Hah! Rapat? Rapat soal apa lagi? Pertanyaan Sekris membawanya kepada pengetahuan bahwa ternyata orang-orang pada ngumpul di Amigos untuk meneruskan rapat soal Natin yang nggak masuk kantor.
 
Kali ini Sekris kecewa sekali. Dia tidak diajak orang-orang untuk ikut rapat itu. Rupanya teman-temannya masih kesal karena kesalahannya mengirim pesan yang belum diedit kepada Pak Mergy.
 
Untuk pertama kalinya selama Sekris bekerja di perusahaan itu merasa ditinggalkan sendiri. Teman-temannya tega mengabaikan keberadaannya. Jika mengingat apa yang selama ini dia lakukan untuk teman-temannya. Sungguh sangat menyakitkan.
 
Mencarikan alasan setiap kali Pak Mergy menemukan kesalahan teman-temannya di kubikal. Meyakinkan Pak Mergy untuk mempertimbangkan usulan teman-temannya. Meloby Pak Mergy agar tahun ini ada outing. Semuanya sudah dia lakukan. Demi teman-temannya. Kurang apa lagi, coba?!
 
Apa balasan semua kebaikan itu?
Teman-temannya malah mencapakkannya hanya karena kesalahan kecil saja.....
 
Persahabatan macam apa sih ini?
Di kantor seharusnya orang-orang saling menolong satu sama lain. Bukan saling menyingkirkan seperti itu. Apa lagi hanya gara-gara kesalahan kecil. Masa sih untuk orang yang selama ini banyak berjasa pun mereka sampai hati begitu?
Hanya ada setetes air mata yang menggelayut di pojok mata Sekris. Dia buru-buru mengusapnya. Menarik nafas dalam-dalam. Dan menahan jangan sampai ia jadi menangis. Kehidupan di kubikal memang bisa sekeras. Dan sekejam itu. Tapi sudahlah. Tidak semua orang menghargai jasa orang lain.
 
”Pak Mergy balik jam berapa Kris?” tiba-tiba saja ping dari Aiti masuk.
 
Nggak ada selera untuk membalasnya. Biarkan saja mereka terlambat. Nggak usah dibela-belain lagi. Sekris meletakkan gadgetnya di atas meja. Hampir melemparnya seandainya saja dia tidak segera ingat kalau itu adalah gadget kesayangannya. Tapi keburu kejeduk agak keras juga tadi.
 
Sekris memungutnya kembali. Lalu membelainya dengan penuh kasih sayang. ”Maafkan aku yang bebembi.....” katanya. Sambil menciuminya beberapa kali.
 
”Kris, Pak Mergy balik jam berapa?” ping dari Aiti masuk lagi.
”Tauk! Liat aja sendiri.” balas Sekris ketus. Nggak perlu lagi baik-baikin teman yang nggak setia kawan. Mereka cuman mau enaknya aja dari kita. Tapi mereka nggak peduliin perasaan kita. Perih.
 
Sepuluh menit kemudian orang-orang pada berlarian menuju ke kubikal. Sebelum sampai di mejanya Fiancy sempat berhenti di kubikal Sekris. ”Pak Mergy belon datang kan...hhh.hhhhh.hhhh?”
 
Pertanyaanya itu hanya dibalas dengan bibir mencibir dan bahu besar yang terangkat.
Nggak ada orang yang berani menebak-nebak. Lebih baik berasumsi jika Pak Mergy sudah datang duluan. Meskipun itu berarti mereka semua harus kena marah lagi.
 
Mungkin beberapa detik lagi pintu ruangan Pak Mergy akan terbuka. Lalu suara kerasnya akan menggelegar seperti biasa. Tapi mau gimana lagi? Pasrah aja. Emang sih salah orang-orang juga. Keasyikan rapat soal Natin yang nggak masuk kantor di Amigos sambil makan siang.
 
Keheningan orang-orang yang bersembunyi di kubikal terpecahkan oleh bunyi pintu yang terbuka. Untungnya bukan pintu ruangan Pak Mergy. Seseorang membuka pintu masuk ke kubikal. Lalu...
 
”Hallo semua!” suara Pak Mergy terdengar begitu renyah.
”Haallloooo Pak Mergyyyyyyy.....” sambutan semua orang lebih renyah lagi. Bukan karena mereka suka dengan sapaan ramah Pak Mergy. Tapi mereka senang karena atasannya datang lebih terlambat lagi. Aman.....
 
Pak Mergy berhenti sejenak. Memiringkan wajahnya. Seola-olah sedang mendengarkan sisa-sisa alunan sapaan hangat anak buahnya. Kemudian dia tersenyum. Lalu melangkah menuju ke ruang kerjanya.
 
Fiuh....
Orang-orang di kubikal bernafas lega......
Nggak jadi kena marah meskipun telat balik dari makan siang.
 
Dalam kelegaan itu, tiba-tiba saja Sekris berkata; ”Kalian habis rapat apa-an sih sampai selama itu....?”
 
Haddduuuuh..., si bongsor itu kenapa ngomong keras-keraaaaaaaaas.... hiiiiih.....
Batin semua orang di kubikal menggerutu. Pertanyaannya membuat jantung semua orang di kubikal nyaris berhenti.  
 
Orang-orang di kubikal menahan nafasnya.
Pak Mergy yang sedang melangkah nggak jadi menginjak lantai. Kaki kanannya masih melayang di udara. Dan berhenti begitu saja.
 
Sekris sendiri kaget dengan akibat yang ditimbulkan oleh pertanyaannya.
”Ups! Perasaan aku sudah berbisik....” begitu dikatakan dalam hatinya. Telapak tangan kanannya menutupi mulutnya yang seksi.
 
Semua orang di kubikal berharap Pak Mergy tidak mengambil hati. Tapi percuma aja. Beliau bertanya ”RAPAT APA?”. Lagi-lagi Opri yang kena getahnya untuk menjelaskan.
 
”Sudahlah anak-anak, nggak perlu membahas lagi soal Natin yang nggak masuk kantor” tanpa disangka Pak Mergy meresponnya dengan ceria.
 
Sekarang gantian orang-orang di kubikal yang penasaran. KENAPA?
”Saya sudah tahu penyebabnya” kata Pak Mergy. ”Ternyata Natin bukan tidak masuk kantor,’ lajutnya. ”Tapi, Natin tadi itu dipanggil oleh Pak Presiden Direktur......
 
Hooooooh……. Orang-orang langsung merasa lemas…..
 
Haaaah? Natin  dipanggil Pak presiden Direktur? Jadi… rapat-rapat kita selama ini apa gunanya?. Mulut orang-orang di kubikal menganga.
 
Tiba-tiba saja semua orang kubikal menyadari bahwa keberadaan seseorang secara fisik tidak menujukkan apakah mereka bekerja atau tidak. Ada orang yang secara fisik berada di kantor tapi tidak mengerjakan apapun. Ada yang fisiknya tidak terlihat. Tapi hasil kerjanya terasa ….. 
 
Catatan Kaki:
Kehadiran seseorang di kantor belum menjadi jaminan jika hari itu, dia mengerjakan pekerjaan yang bermanfaat buat kantor
 

Natin Menjadi Managing Director

Hanya sebentar saja orang sadar.
Orang-orang di kubikal nyadar bahwa meskipun fisiknya nggak kelihatan, nggak berarti orang lain nggak kerja. Yang kelihatan fisiknya pun belon tentu kerja.
 
Mereka sadar jika sekarang adalah saatnya untuk kerja. Setelah setengah harian tadi konsentrasi mereka buyar. Hanya gara-gara nggak melihat Natin. Lain kali, mereka nggak bakal lagi langsung curiga Natin nggak masuk kantor kalau batang hidungnya nggak kelihatan.
 
Jari jemari mereka hampir menyentuh toots keyboard desktop. Tanda bahwa pekerjaan hari itu bisa segera dimulai. Tapi nggak jadi. Seperti janjian saja. Semua orang di kubikal menghentikan jarinya dalam jarak kira-kira satu setengah senti dari keyboard.
 
Apa lagi yang menghentikan mereka dari pekerjaan sekarang?
Pikiran-pikiran yang menggoda benak mereka. Tiba-tiba saja mereka jadi kepikiran ini; ”Kok bisa ya Pak Presiden Direktur memanggil Natin ke ruang kerja beliau? Dia kan hanya seorang Office Boy!”
 
Oh, oh, oh....
Rasanya kok nggak pantes banget ada office boy yang dipanggil oleh Pak Presiden Direktur. Kalau para Direktur, panteslah. Lha, kalau OB? Aneh.
 
Orang-orang di kubikal menemukan keanehan yang sama.
Opri langsung berdiri. Eh, ternyata Aiti dan Fiancy juga berdiri. Begitu pula dengan semua orang yang lainnya di kubikal itu. Pikiran mereka sama.
 
”Emh, e-l-o pade mikir yang sama seperti yang gue pikirkan?” Opri memulai.
 
Semua orang di kubikal saling menatap satu sama lain. Hening untuk sementara waktu.
Lalu mereka semua mengangguk bersamaan sambil mulai menyerocoskan kehebohan. Persis seperti bebek yang sedang rapat di kandangnya.
 
Jangan-jangan....
Telunjuk orang-orang bergoyang-goyang....
”Jangan-jangan....” Fiancy bicara dengan nada getar menahan emosi.
Orang-orang tak sabar menantikan kelanjutannya. ” Natin dipromosikan.....” suaranya terpekik.
 
Haaahhhh....? Natin dipromosikan?
OB mau dipromosi jadi apa lagi? OB itu karir abadi sepanjang masa. Kalao udah jadi OB ya seumur hidup jadilah dia OB terus. Di promosi. Ngimpi....
 
Tapi...,
Ngapain Pak Presiden Direktur memanggil Natin selama itu jika bukan untuk dipromosi.
Semua orang di kubikal terdiam. Mereka tidak berani mengambil resiko jika kesimpulan mereka keliru. Terlebih lagi. Mereka tidak berani mengambil resiko jika Natin benar-benar di promosi.
 
”Oke, kita rapat lagi.” Opri kembali memimpin pertemuan penting itu. Kali ini rapat soal jabatan apa yang kira-kira akan diberikan kepada Natin. Manager OB, tidak mungkin karena OB di kantor hanya dia satu-satunya. Sekretaris, nggak mungkin. IT nggak mungkin. Finance, juga nggak mungkin. Semua posisi sudah terisi.
 
Fiuh... lega rasanya.
Natin nggak mungkin dipromosikan. Nggak ada posisi kosong. Maka rapat itu pun menyimpulkan bahwa hipotesa soal Natin yang akan dipromosi hanya isapan jempol belaka. Mereka pun bubar.
 
Aiti dan teman-temannya kembali menuju ke kubikal masing-masing. Nggak ada yang merasa aneh kecuali Sekris yang harus melintasi ruang kerja para boss. Tepat di pojok sebelah tenggara, dia melintasi sebuah ruangan besar yang sejak 3 bulan ini kosong.
 
Sekris berhenti tepat ketika melintas di ruangan itu.
Jantungnya berdegup kencang ketika dia melihat label di pintu ruangan itu. ”Managing Director.” Jabatan yang kosong sejak 3 bulan lalu....
 
Pikirannya mengelana kemana-mana.
Sel-sel otaknya mengembara ke berbagai tempat. Semua informasi berputar-putar dalam kepalanya. Lalu saking rumitnya putaran otak itu dia tidak dapat menguasainya. Sampai akhirnya Sekris berteriak;” Natin menjadi Managing Director!!!!!”
 
Teriakan itu nyaris membuat jantung semua orang di kubikal copot.
Benar. Hanya itu posisi yang lowong saat ini. Oh, bagaimana mungkin seorang OB diangkat jadi Managing Director?
 
Seperti zombie. Tak seorang pun bisa bicara lagi. Mereka hanya bisa berdiri. Lalu berjalan perlahan menuju ke ruang kosong tempat Sekris berdiri. Disana mereka hanya bisa menatap pintu bertuliskan ’Managing Director”. Tanpa bisa berkata-kata.
 
”Siapa yang bilang Natin diangkat jadi Managing Director?” teriakan Pak Mergy membuyarkan hipnotis itu.
 
Seperti orang linglung. Mereka semua saling pandang satu sama lain. Lalu menunjuk kearah ruang kosong yang cozy itu.
 
Pak Mergy geleng-geleng kepala.
”Jangan mengada-ada,” katanya. ”Nggak mungkin itu.” lanjutnya. ”Hayo, balik lagi ke kubikal masing-masing.”
 
Maka para zombie itu pun kembali.
Tapi, pikiran mereka semua dipenuhi oleh teka-teki. Termasuk isi kepala Pak Mergy. Mungkinkah Natin mendapatkan promosi jabatan yang sedemikian bergengsi?
 
”Huuuuuhuhu huhu...”
Tiba-tiba saja terdengar suara aneh itu. Semua orang di kubikal penasaran dari mana datangnya. Oh. Dari ruangan Pak Mergy.
 
Rencananya mau duduk kembali di kubikal masing-masing. Tapi suara ’huhuhu huhu’ telah menghipnotis mereka untuk yang kedua kali. Sehingga arah semua orang sekarang berpindah. Menuju ke pintu ruangan Pak Mergy yang sudah kembali tertutup rapat.
 
”Huuuuu huhu huhu...” Pak Mergy menangis lagi.
Hati semua orang kubikal tersayat oleh kepedihan. ”Kenapa Natin yang dipromosikan menjadi Managing Director......” desah Pak Mergy di sela isak tangisnya.
 
Ya. Mengapa Natin dipromosikan menjadi Managing Director. Tidak ada logikanya. Setiap orang di kubikal merasa jika seorang OB tidak pantas dipromosikan setinggi itu.
 
”Mengapa Natin, oh....mengapa Natin....” suara lirih Pak Mergy kembali terdengar jelas dari lubang kunci.
 
Ya. Mengapa Natin.
”Saya kan sudah lama menjadi manager...” kata Pak Mergy lagi. ”Seharusnya saya yang diangkat jadi Managing Director...hohohoho...hoooooo hoho hoho....”
 
Tak tahan mendengar ratapan seseorang yang sudah sedemikian lamanya mengharapkan jabatan itu. Periiih hati tersayat oleh harapan yang sirna secara tiba-tiba.
 
Tak lam kemudian terdengar rintihan yang menyedihkan dari dalam ruangan; ”Gimana kalau nanti saya dipimpin oleh orang yang selama ini saya rendahkan.....”
 
Hooooooh……. Orang-orang langsung merasa lemas…..
 
Tidak seorang pun bisa membayangkan untuk menjadi bawahan seseorang yang selama ini dianggap remeh.
 
Tiba-tiba saja semua orang di kubikal menyadari bahwa kita tidak pernah benar-benar tahu tentang nasib seseorang. Hari ini, seseorang bisa jadi boss. Besok. Mungkin dia menjadi bawahan. Hari ini. Seseorang menjadi bawahan. Tapi besok. Dia mungkin menjadi boss besar.
 
Sesal mulai menyelusupi hati mereka. Tak ada gunanya, menyepelekan kehadiran orang lain. Bahkan sekalipun mereka menduduki posisi yang paling rendah sekalipun….. 
 
Catatan Kaki:
Jabatan itu hanyalah titipan sementara. Hari ini kita memilikinya. Namun tak pernah tahu, kapan akan kehilangannya.
 

Natin Menolak Jadi Managing Director

Keadaan serba berubah.
Terutama sejak beredarnya isyu Natin   menjadi Managing Director. Semua orang menjadi kikuk. Bagaimana harus mengubah sikap terhadap OB yang beruntung itu.
 
Rasanya aneh aja. Gimanaaa gitu. Kalau Natin  sudah jadi boss kan nggak mungkin kita bersikap dengan cara yang sama seperti biasanya.
 
Cara bicara kita. Mesti lebih sopan. Perilaku kita. Mesti lebih santun. Perlakuan kita. Mesti lebih manusiawi. Pokoknya semuanya mesti berubah. Soalnya, Natin  sudah bukan OB lagi. Dia pejabat tinggi perusahaan sekarang.
 
Oh. Seandainya selama ini orang-orang di kubikal memperlakukan OB itu sama seperti halnya mereka memperlakukan orang lain. Tentu orang-orang itu nggak perlu setresss mikirin perubahan perlakukan yang harus mereka lakukan.
 
Sekarang orang-orang di kubikal sudah sadar. Bahwa setiap orang yang ada di kantor mempunyai derajat dan kemuliaan yang sama. Apa pun peran mereka. Penting. Bukan hanya untuk perusahaan. Tapi juga untuk orang-orang yang ada disekitarnya.
 
Jadi. Sungguh sangat penting memperlakukan semua orang itu sama. Mau atasan kek. Bawahan kek. Teman. Rasa hormat patut diberikan kepada semua orang.
 
Oh oh oh... gimana caranya menghormati orang-orang yang statusnya berada dibawah kita? Gampang kalau menghormati boss. Tapi pada orang-orang yang bukan boss? Beraaaat banget.
 
”Sudahlah teman-teman. Nggak usah dipikirin. Santai aja lageee...” Opri berusaha menepis kegalauan orang-orang di kubikal.
 
”Santai gimana Pri...,” Fiancy mengelak. ”Gue sih nggak bisa semudah itu berubah sikap sama Natin.” lanjutnya. ”Kerasa banget ngejilatnya, tahu gak sih.”
 
”Ya nggaklah.” Sangga Opri. ”Memang sudah kodratnya kalau orang yang punya jabatan tinggi itu lebih dihargai,” katanya. ”Elo juga kalau mendadak jadi boss bakal gua hormatin lebih dari elo yang sekarang kwekekekekek.....”
 
Tak ada orang lain yang ikut tertawa bersamanya.
Orang-orang di kubikal menatap tajam kearahnya. Saling menatap. Lalu pergi meninggalkan Opri sendiri. ”Nggak lucu!” begitu kata mereka nyaris berbarengan.
 
Dalam kesendirian itu Opri merasakan kehampaan didalam hatinya.
Benar. Kata-katanya tadi terasa tidak lucu sama sekali. Orang-orang hanya menghormati jabatannya. Bukan pribadi temannya. Jika dia lebih menghormati jabatan sahabatnya, maka tidak ada artinya lagi persahabatan itu.
 
Itulah sebabnya, mengapa di kantor kita jarang sekali mempunyai sahabat. Sebab, ketika kita saling berlomba untuk memperebutkan jabatan. Maka persahatan sering sekali dikorbankan.
 
Beda sekali dengan orang-orang yang dengan tulus menghormati sesamanya. Sekalipun dengan office boy. Mereka menaruh hormat yang tidak berkurang nilainya.
 
Banyak hal yang direnungkan Opri dalam kesendirian ditengah kubikal yang dipenuhi orang galau itu. Dan selagi dia merenung, tiba-tiba saja disampingnya sudah berdiri Pak Mergy.
 
”Ngapain kamu melamun kayak gitu?” entah sejak kapan Pak Mergy berdiri disitu. Seperti magnet. Suaranya menarik perhatian seluruh penghuni kubikal. Mereka siap memasang daun telinga untuk nguping seperti biasanya.
 
”Emmh... nggak Pak... saya....” Opri nyari kecopotan jantungnya.
 
”Masih galau soal Natin  yang jadi Managing Director ya kalian?” Tuduh Pak Mergy.
”Lho, kok Bapak tahu sih?” Seru Opri. Kaget dengan pengetahuan Pak Mergy.
 
”Kamu galau mesti bersikap apa kan?” katanya lagi.
”Lho, kok Bapak tahu sih?” Pertanyaan Opri mewakili suara semua penghuni kubikal.
 
”Kikuk kalau harus dipimpin oleh mantan OB kan....?” lanjut Pak Mergy.
”Lho, kok Bapak tahu sih?” Selain berkata begitu, semua orang merasa heran. Mengapa Pak Mergy sama sekali tidak menunjukkan kegalauan yang sama.
 
”Lho kok Bapak tahu. Lho kok bapak tahu. Ya taaaahu dooong....” wajah Pak Mergy makin berbinar-binar.
 
Semua orang di kubikal melihat ketulusan disetiap kata dan nada bicaranya. Sekarang mereka melihat teladan yang baik untuk belajar tentang kebesaran hati. Menerima dengan legowo keberuntungan dan kesuksesan orang lain.
 
Dari sikap Pak Mergy semua orang bisa belajar menerima promosi jabatan temannya sebagai kemenangan bersama. Bukan untuk disesali. Bukan untuk dicemburui.
 
”Oh ya. Saya ingin beri tahu kalian satu hal lagi....” lanjut Pak Mergy.
Semua telinga dipasang tajam-tajam. Orang yang dari tadi masih duduk di kubikalnya sekarang ikut berdiri karena penasaran.
 
”Dengarkan baik-baik ya...” kata Pak Mergy kemudian. ” Natin  tidak jadi dipromosi jadi Managing Director.”
 
”Haaaaah? Natin  tidak jadi dipromosi menjadi Managing Director?” semua orang tergagap-gagap. Entah karena mereka merasa lega. Atau mungkin ada alasan lain yang hanya mereka sendiri yang tahu.
 
”K-kenapa Pak....?” Aiti memberanikan diri bertanya.
”Itulah yang saya juga kurang mengerti,” balas Pak Mergy. ”Soalnya, saya dengar.....” Pak Mergy berhenti sejenak.
 
Ketika nafas orang-orang di kubikal nyaris berhenti karena penasaran, Pak Mergy meneruskan; ” Natin  menolak tawaran menjadi Managing Director.”
 
Hooooooh……. Orang-orang langsung merasa lemas…..
 
Tidak seorang pun bisa memahami, mengapa ada orang yang menolak diberi jabatan tinggi dan bergengsi.
 
Tiba-tiba saja semua orang di kubikal menyadari bahwa tidak semua orang silau dengan jabatan. Diantara mereka yang saling sikut dan menghalalkan segala cara, ada segelintir orang yang tidak terpengaruh oleh perebutan itu. Bagi orang itu, bekerja; bukan semata-mata soal jabatan….. 
 
Catatan Kaki:
Jabatan itu bukanlah sekedar prestise dan fasilitas mewah. Melainkan seperangkat amanah, yang wajib ditunaikan.