Senin, 30 Juli 2012

Plagiat - Kapan Kita Berhenti Meklaim Hasil Karya Orang Lain?

Hari ini saya mengirim teguran tertulis kepada sebuah penerbit di Jakarta karena mereka menerbitkan sebuah buku. Lho, apa hak saya menegur penerbit? Benar, saya tidak berhak menegur mereka jika menjalankan bisnisnya dengan etika. Tetapi, penerbit itu jelas-jelas mengetahui jika buku yang diterbitkannya itu menjiplak sebagian dari isi buku saya yang sudah diterbitkan terlebih dahulu. Tanpa meminta ijin, tanpa menyebutkan sumbernya. Ada bukti kuat yang menunjukkan jika mereka memang melakukannya secara sadar.  
 
Sedih saya dengan perilaku penulis di Indonesia. Bahkan untuk sekedar belajar beretika menulis saja mereka enggan melakukannya. Apa lagi diajak beretika untuk hal-hal yang lebih bernilai dari itu? Lebih sedih lagi saya, karena dalam kasus ini sang jago jiplak itu adalah seseorang yang juga berprofesi sebagai trainer, seperti halnya profesi saya. ‘Jeruk makan jeruk’ ini namanya. Beliau itu bukan trainer sembarangan alias kaliber kelas atas karena; beliau termasuk salah satu dari beberapa trainer yang disebut sebagai pemegang rekor MURI. Barangkali ini adalah salah satu contoh percaya diri seorang pribadi panutan yang kebablasan. Maaf, saya mengatakan demikian karena kita mesti belajar untuk bersikap tegas kepada perilaku tidak beretika. Siapa pun pelakunya.
 
Pun jika suatu saat nanti Anda menemukan saya yang melakukan penyimpangan. TOLONG. Jangan biarkan saya tersesat dalam jalan yang merendahkan martabat kita sendiri. Baik profesi sebagai Trainer, sebagai pendidik, sebagai penulis, maupun sebagai pribadi seperti halnya pribadi-pribadi lain. Saya juga sama manusianya dengan Anda semua, bisa kepeleset. Bahkan sudah sering kepeleset. Jadi jangan biarkan saya terseret arus sesat. Bantu saya untuk insyaf. Silakan.
 
Saya sempat berpikir untuk menegur langsung penulisnya. Wake up, man! Dunia penerbitan buku itu berbeda dengan budaya copy paste internet! Apakah sulit untuk sekedar 'menyebut  sebuah nama'  seandainya you tidak sanggup untuk 'berpermisi’ ria? That's the universal ethic.
 
Namun, akhirnya saya urungkan niat itu karena saya percaya penerbit buku yang mewakili saya bisa menjadi ‘representative body’ yang dapat diandalkan untuk menyelesaikan masalah ini.
 
Sebelum saya menegur penerbit itu, saya berulang kali membaca kalimat-kalimatnya. Hahaha, yakin; kalimat itu gue banget! Lalu saya cocokan dengan buku-buku saya. Bingo! Ternyata memang isi buku baru itu di halaman 8 sampai 17 sama persis dengan isi buku saya yang berjudul “Ternyata Semutnya Ada Di Sini”, kecuali satu atau dua kata yang diganti.
 
Anda yang pernah membaca buku saya yang berjudul “Ternyata Semutnya Ada Di Sini” atau yang mungkin suatu saat nanti akan membacanya jangan kaget kalau isi buku pada halaman 88-95 telah dijiplak oleh sang penulis buku baru itu. Sekedar Anda tahu saja, penulis buku itu tidak pernah menghubungi saya untuk mengambil bagian isi buku itu untuk buku yang diterbitkan atas namanya. Padahal, kalau saja beliau berbesar hati untuk menyebutkan nama penulis orisinilnya; memang tidak harus minta ijin kok. Kecuali kalau beliau berkenan melakukan yang lebih dari itu.

Catatan Kaki:
Penulis buku Indonesia, mari terus berkomitmen kepada etika. Karena etika itulah yang bisa menyelamatkan muka kita dihadapan para pembaca setia kita.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar